Kian Banyak Regulasi Tak Melindungi Hak Buruh
Terbaru

Kian Banyak Regulasi Tak Melindungi Hak Buruh

Beberapa tahun terakhir tak sedikit regulasi yang substansinya mengebiri hak-hak buruh seperti UU Cipta Kerja dan Permenaker 5/2023. Padahal konsep hukum ketenagakerjaan bersifat protektif. Tujuannya memberi standar perlindungan bagi pekerja untuk mendapat kehidupan yang layak.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Nabiyla Risfa Izzati .  Foto: Tangkapan layar youtube
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Nabiyla Risfa Izzati . Foto: Tangkapan layar youtube

Kebijakan pemerintah menerbitkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, hingga UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU sedari awal menuai penolakan berbagai kalangan masyarakat sipil. Seperti kalangan buruh, karena memangkas hak-hak pekerja yang sebelumnya diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Nabiyla Risfa Izzati mencatat dalam beberapa tahun terakhir banyak kebijakan yang intinya tidak memberi perlindungan terhadap buruh. Tentu saja hal itu melenceng dari tujuan awal dibentuknya hukum ketenagakerjaan yakni melindungi buruh sebagai pihak yang paling lemah dalam hubungan kerja. Seperti terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

“Permenaker 5/2023 ini contoh terbaru untuk melihat bagaimana kebijakan ketenagakerjaan yang diterbitkan pemerintah belakangan ini salah arah dengan tujuan hukum ketenagakerjaan,” kata Nabiyla dalam diskusi bertema ‘Hak Buruh Dikebiri Oleh Menteri, Pengusaha Pada Hepi’, Selasa (11/04/2023) kemarin.

Baca juga:

Menurut Nabiyla konsep ketenagakerjaan itu memberi kewenangan pemerintah untuk mengatur hubungan kerja yang bersifat privat. Sejarah membuktikan posisi pengusaha dan buruh tidak seimbang. Buruh kerap dianggap sebagai komoditas, bukan sebagai manusia yang melekat hak. Oleh karena itu muncul perbudakan, penale sanctie, romusha dan lainnya.

Revolusi industri pertama membuat berbagai pihak berpikir untuk membuat ketentuan yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan pemberi kerja. Sebab jika hubungan itu dilepas tanpa aturan maka ujungnya eksploitatif terhadap buruh. Oleh karena itu, pemerintah harus masuk mengatur hukum privat tersebut, sehingga sifatnya menjadi hukum publik.

Nabiyla menegaskan konsep hukum ketenagakerjaan bersifat protektif. Tujuannya memberi standar perlindungan bagi pekerja untuk mendapat kehidupan yang layak. Ada pandangan yang menilai harusnya hukum ketenagakerjaan itu di tengah atau netral, sehingga memberi kesempatan yang sama. Justru pandangan itu tidak tepat karena jika hukum ketenagakerjaan netral berarti fungsi perlindungan terhadap buruh tidak berjalan.

Tags:

Berita Terkait