Kisah di Balik Tragedi WTC : Menggugat Perlakuan Diskriminatif
Fokus

Kisah di Balik Tragedi WTC : Menggugat Perlakuan Diskriminatif

Amnesti Internasional baru saja mempublikasikan sebuah laporan bertajuk Rights Denied : The UK's Response to 11 September 2001. Laporan itu menunjukkan bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM, terutama terhadap kelompok minoritas di Inggris, sering terjadi pasca Tragedi WTC. Perlakuan serupa juga terjadi di Amerika Serikat.

MYs/APr
Bacaan 2 Menit

Atas tuduhan itu, Agus disidang di Pengadilan Federal AS di kawasan Virginia. Namun dalam persidangan, Agus terbukti tidak ada sangkut pautnya dengan terorisme. Tuduhan yang bisa dibuktikan di pengadilan adalah pemalsuan dokumen, berupa melewati batas waktu tinggal (overstay) dan pelanggaran izin kerja. Atas pelanggaran itu, Agus diharuskan menjalani lima bulan penjara.

Memang, berkat pendekatan diplomatik, Agus sudah kembali ke Indonesia. Namun, ia berniat mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Paman Sam atas perlakuan yang ia terima selama ditahan.

Menurut Wirawan Adnan, pengacara Agus, pada pekan lalu, pihaknya sedang menjajaki kemungkinan untuk melakukan gugatan balik terhadap Pemerintah AS berupa ganti rugi dan rehabilitasi. Gugatan atau tuntutan itu dilatarbelakangi oleh penahanan Agus tahun lalu yang dianggap melanggar prinsip-prinsip HAM.

Untuk kepentingan itu, Wirawan bersama Agus Budiman dan orang tuanya sudah menemui Wakil Ketua DPR AM Fatwa, anggota Komisi I Ahmad Soemargono, dan Wakil Ketua Komisi II Hamdan Zoelva di Senayan.

Misteri 11 September

Bagaimanapun, orang-orang seperti Agus, Samar maupun Lotfi mungkin kurang mendapat perhatian dibanding ribuan korban dalam tragedi WTC. Gaung tragedi itu telah menembus batas-batas negara. Indonesia dan sejumlah negara buru-buru mengusulkan pentingnya RUU Anti Terorisme. Meski sempat dibantah, rencana Pemerintah tersebut diduga sebagai tekanan AS karena Indonesia dianggap sebagai salah satu sarang teroris.

Tragedi pada 11 September 2001  memang telah mengguncang dunia. Tragedi ini telah menjadi bencana tidak hanya warga AS, tapi juga belahan penduduk dunia lain. Serangan bunuh diri pembajak yang menabrakkan dua pesawat penuh penumpang pada gedung pencakar langit World Trade Center (WTC) di New York telah menelan korban nyawa hampr 3.000 orang.

Tanggal 11 September akan dikenang sebagai teror yang sangat kejam dan mengerikan. Hingga setahun setelah kejadian itu, banyak warga AS yang geram terhadap aksi teroris itu. Buntutnya, pasca Tragedi Pasca WTC itu muncul berbagai tindakan diskriminatif.

Belakangan, tindakan diskriminatif itu makin menjadi-jadi dengan mencap "teroris" bagi siapa saja yang dicurigai terkait dengan tragedi WTC. Setelah Agus Budiman, yang paling gres adalah kabar Abu Bakar Ba'asyir--pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo--yang dicap sebagai teroris oleh AS.

Pasca Tragedi WTC, kini dunia dalam pelukan bayang-bayang "terorisme" yang banyak dihembuskan oleh media barat. Padahal di balik itu, ada misteri besar di balik Tragedi WTC. Adalah Andreas Broeckers, penulis dan wartawan investigasi Jerman, yang menulis buku yang diduga akan menjadi best seller, "Konspirasi, Teori Konspirasi dan Rahasia 11 September".

Dalam bukunya itu, Broeckers menuliskan bahwa tanggal 11 September 2001 itu menyimpan berbagai kejanggalan, latar belakang yang disembunyikan,kontroversi yang fantastik, dan cerita berbagai operasi strategis intelijen. Ia  curiga karena banyak berbagai keganjilan dan tidak sinkronnya detail dalam versi resmi 11 September 2001.

Broeckers mempertanyakan, informasi kotak hitam yang tidak dipublikasikan, nama 19 pembajak yang tidak ada dalam daftar--malah 5 di antaranya ternyata sehat wal afiat, Bush dan Dick Cheney yang menekan pemimpin opisisi Dashley untuk menghindari rencana Kongres untuk melakukan "penelitian mendalam terhadap peristiwa 11 September 2001.

Masyarakat dunia tentu mengharapkan klarifikasi AS, terutama dari Presiden George W. Bush, terhadap berbagai pertanyaan dan kecurigaan itu. Jawaban itu tentu amat bermakna, bukan hanya untuk meluruskan sejarah, melainkan juga agar tidak menimbulkan korban baru dan warga sipil yang tak berdosa karena 'perang atas nama terorisme' dan berbagai tindakan diskriminatif lainnya.

Tags: