Kitab-Kitab Hukum Nusantara Jadi Inspirasi RKUHP
Berita

Kitab-Kitab Hukum Nusantara Jadi Inspirasi RKUHP

Ada asas legalitas dan proporsionalitas.

ALI
Bacaan 2 Menit
Dirjen HAM Harkristuti Harkrisnowo. Foto: SGP (edit: RES)
Dirjen HAM Harkristuti Harkrisnowo. Foto: SGP (edit: RES)
Pemerintah dan DPR masih terus melakukan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tujuan terbesar dari langkah itu adalah mengganti kitab “warisan” pemerintah kolonial Belanda dengan kitab hukum yang menjadi ciri khas Indonesia.

Dalam menyusun RKUHP, tim penyusun berupaya menggali kitab-kitab hukum kuno di nusantara khas Indonesia sebagai inspirasi dalam pembuatan RKUHP.

Dirjen HAM Kemenkumham Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan bahwa sistem hukum kuno yang pernah ada di wilayah Indonesia telah mengatur banyak hal tentang pidana dan pemidanaan serta falsafahnya. Sayangnya, di masa kemerdekaan, para ahli hukum kurang memperhatikan hal ini.

Akibatnya, lanjut Harkristuti, ada banyak naskah-naskah hukum kuno yang tersebar di bumi Indonesia yang belum tersentuh. Misalnya, kakawin (syair dengan metrum tertentu), pepakem (piagam), babad (teks sejarah), jayapattra (putusan pengadilan), prasasti dan lontara.

“Kecuali di Bali dimana ditemukan awig-awig, yang sampai kini masih dipergunakan untuk hal-hal tertentu dan Lontara Latoa di Sulawesi Selatan,” ujarnya dalam seminar nasional di Gedung PPATK, di Jakarta, Selasa (25/3).

Lebih lanjut, Harkristuti menyebutkan beberapa kitab-kitab hukum yang sudah ada di nusantara sejak abad ke-10. Di antaranya, Ciwasana atau Purwadhigama (abad ke-10), Kitab Gajamada (abad ke-14), Kutaramanawadharmasastra (tahun 1350), dan Kitab Adhigama (tahun 1430).

Ada lagi Kitab Simbur Cahaya di Palembang (tahun 1630an), Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung (Abad 16), Kitab Lontara’ ade’ di Sulawesi Selatan yang berlaku hingga abad 19. Sementara di Tanah Batak, adaPatik Dohot Uhum ni Halak Batak yang tak jelas kurun waktunya.  

Harkristuti menjelaskan, meski dibuat berabad-abad lalu dan jenis sanksi pidananya masih terbatas dibandingkan masa kini, kitab-kitab hukum kuno ini ternyata telah mengenal pilar-pilar hukum pidana modern. Misalnya, asas legalitas dan proporsionalitas.

Ia mengutip Pasal 65 Kitab Perundang-undangan Agama tentang penjatuhan denda berbunyi,” …. Ingatlah, jangan sekali-kali raja yang berkuasa menjatuhkan denda lebih besar daripada seketi enam laksa…” Atau Lontara di Sulawesi Selatan yang menekankan, “… adapun cemetinya negeri terhadap orang, tak aus, tak diubah dan tak dibikin lain, walaupun balok besar ditimpakan kepadanya….. tetapi walau hanya ujung kapas digulung dikipaskan kepadanya, (bila) pidananya tak sesuai dengan hukum adat, maka mereka melayangkan dan pergi…”

Hukum Pembuktian
Tak hanya menyangkut hukum materil, kitab-kitab kuno itu juga mengatur hukum acara pembuktian. Misalnya, dalam Tatya Wyawahara disebutkan saksi wus wus winasu de sang pandita (saksi yang telah direstui pendeta), likhita na inungwakneng tulis (ditempatkan di surat atau keterangan tertulis) dan bhuki na ikang toya apan kna tinadah (air yang dapat diminum).

Harkristuti menlanjutkan, Kitab Adigama mengatur ketentuan mengenai saksi. Yakni, “orang lain yang mengetahui”, “kelihatan apa yang dikatakan”, “kelihatan semuanya oleh orang banyak”.

“Sanksi denda merupakan sanksi yang umum dijatuhkan manakala terjadi tindak pidana, walau beberapa yang termasuk dalam astadusta dan asta corah dikenakan pidana mati,” jelasnya.

Selain itu, Harkristuti menjelaskan falsafah pemidaan deterrence atau pencegahan sebagai tujuan penjauhan pidana di masa depan, ternyata telah dijumpai dalam Pasal 93 Kitab Perundang-undangan Agama (Majapahit). Ketentuan itu berbunyi, “.. maksud raja mengenakan denda ialah untuk mengendalikan nafsu orang, supaya jangan tersesat budinya, jangan menerjang di jalan yang benar..”

Asas proporsionalitas juga dianut dalam Pasal 93 Kitab Perundang-undangan Agama itu dengan menyebut “.. kesalahan besar dendanya besar, kesalah kecil dendanya kecil..”

“Uraian di atas menunjukan bahwa Indonesia meiliki harta karun ilmu hukum pidana yang tersimpan dalam local wisdom. Itulah sebabnya sejumlah pemikiran yang ada dalam kitab hukum pidana kuno diinkorporasikan ke dalam RUU KUHP,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait