Koalisi Laporkan 6 Catatan Praktik Hukuman Mati ke Komite HAM PBB
Terbaru

Koalisi Laporkan 6 Catatan Praktik Hukuman Mati ke Komite HAM PBB

Catatan yang dilaporkan antara lain rendahnya transparansi dan akuntabilitas data serta informasi terkait hukuman mati. Hukuman mati rentan menyasar masyarakat rentan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Keikutsertaan terpidana mati dalam aktivitas, seperti program pembinaan, olahraga atau berbagai pelatihan sangat bergantung pada kesadaran mereka sendiri. Itu terjadi karena tidak diwajibkan, dan banyak terpidana mati yang menghabiskan waktu mereka dengan bermuram durja, menyendiri, hingga berakhir pada depresi akut.

“Mereka juga tidak memiliki program yang memberikan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Maka dari itu, tidak heran ketika terpidana mati yang berada di dalam Lapas kembali melakukan kejahatan yang sama,” ungkap Ardimanto.

Keempat, hukuman mati dijatuhkan melalui sidang virtual di masa pandemi yang memiliki banyak kelemahan untuk keadilan substansial. Menurut Ardimanto, persidangan virtual memberikan ruang yang lebih besar untuk persidangan yang tidak adil.

Misalnya, kualitas bantuan hukum yang buruk yang dapat diberikan, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan beragam masalah lainnya.

Kelima, hukuman mati juga menyasar kelompok rentan seperti lansia, orang miskin, perempuan, buruh migran, dan anak-anak. Meskipun hukuman mati dilarang dikenakan untuk anak-anak, tapi praktiknya di Indonesia hal itu masih terjadi. Seperti yang dialami Mispo Gwijangge (MG).

Hukuman mati juga kerap menyasar kelompok rentan, seperti buruh migran. Ada juga menyasar Isnardi, kakek berusia 76 tahun yang pekerjaannya sebagai buruh gembala ternak. Isnardi dituduh sebagai kurir narkotika, dan baru kali pertama berurusan dengan penegakan hukum. Saat ini Isnardi menunggu eksekusi mati di lapas Binjai.

“Pengadilan tidak mampu melihat peran detail individu tersebut,” bebernya.

Keenam, kebijakan Grasi yang diatur UU No.5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memiliki parameter yang jelas. Beleid itu tidak memberikan pedoman ataupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung (MA) dalam memutus permohonan grasi.

Dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi MA terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya. Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah permohonan grasi, khususnya pidana mati perlu dipertanyakan.

Koalisi berharap 6 catatan itu dapat digunakan Komite HAM PBB dalam melakukan UPR terhadap pemerintah Indonesia. Sehingga ada perbaikan kebijakan terutama terkait praktik hukuman mati.

Tags:

Berita Terkait