Koalisi Laporkan 6 Catatan Praktik Hukuman Mati ke Komite HAM PBB
Terbaru

Koalisi Laporkan 6 Catatan Praktik Hukuman Mati ke Komite HAM PBB

Catatan yang dilaporkan antara lain rendahnya transparansi dan akuntabilitas data serta informasi terkait hukuman mati. Hukuman mati rentan menyasar masyarakat rentan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Diskusi Koalisi HATI bertema 'Laporan Masyarakat Sipil untuk UPR Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati dan Menyikapi Beberapa Vonis Mati Belakangan Ini', Kamis (8/4/2022). Foto: ADY
Diskusi Koalisi HATI bertema 'Laporan Masyarakat Sipil untuk UPR Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati dan Menyikapi Beberapa Vonis Mati Belakangan Ini', Kamis (8/4/2022). Foto: ADY

Hingga kini, Indonesia masih menerapkan praktik hukuman mati. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) telah melaporkan praktik hukuman mati di Indonesia kepada Komite HAM PBB. Koalisi terdiri dari LBH Masyarakat, Imparsial, HRWG, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Care, ICJR, Elsam, Yayasan Satu Keadilan, Setara Institute, LBH Pers, IKOHI, KontraS, PBHI, dan INFID.

Laporan itu dilakukan mengingat Indonesia akan menjalani universal periodic review (UPR) atau tinjauan berkala universal putaran keempat pada November 2022 mendatang. Wakil Direktur Imparsial Ardimanto, mengatakan sedikitnya ada 6 catatan praktik hukuman mati yang dilaporkan koalisi.

Pertama, rendahnya transparansi dan akuntabilitas data dan informasi terkait hukuman mati. Jumlah terpidana mati terus meningkat setiap tahun. Masyarakat sipil menghimpun data tersebut melalui monitoring media karena minimnya akuntabilitas dari pemerintah (kejaksaan), sehingga tidak ada data resmi akurat yang dapat diakses publik.

Kedua, pendekatan “war on drugs” didasarkan pada data yang tidak tepat, sehingga menambah jumlah vonis mati. Sebagian besar terpidana mati terkait kejahatan narkotika begitu juga dengan mayoritas penghuni lapas. “Kebijakan ‘war on drugs’ yang salah dan keliru itu hanya membuat penjara menjadi over kapasitas,” kata Ardimanto dalam kegiatan diskusi bertema “Laporan Masyarakat Sipil untuk UPR Indonesia 2022 tentang Hukuman Mati dan Menyikapi Beberapa Vonis Mati Belakangan Ini”, Kamis (8/4/2022).

Baca:

Ketiga, berbagai hak terpidana mati di dalam Lapas tidak terpenuhi. Terpidana mati di Lapas mengalami diskriminasi karena statusnya yang bukan sebagai “narapidana/ warga binaa”, sehingga banyak hak mereka yang tidak terpenuhi.

Mengacu UU Pemasyarakatan, Ardimanto menjelaskan terpidana mati tidak bisa disebut sebagai narapidana. Sehingga mereka tidak mendapatkan perhatian dari Lapas ketika mereka sedang menjalani masa tunggu eksekusi di lembaga pemasyarakatan.

Keikutsertaan terpidana mati dalam aktivitas, seperti program pembinaan, olahraga atau berbagai pelatihan sangat bergantung pada kesadaran mereka sendiri. Itu terjadi karena tidak diwajibkan, dan banyak terpidana mati yang menghabiskan waktu mereka dengan bermuram durja, menyendiri, hingga berakhir pada depresi akut.

“Mereka juga tidak memiliki program yang memberikan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Maka dari itu, tidak heran ketika terpidana mati yang berada di dalam Lapas kembali melakukan kejahatan yang sama,” ungkap Ardimanto.

Keempat, hukuman mati dijatuhkan melalui sidang virtual di masa pandemi yang memiliki banyak kelemahan untuk keadilan substansial. Menurut Ardimanto, persidangan virtual memberikan ruang yang lebih besar untuk persidangan yang tidak adil.

Misalnya, kualitas bantuan hukum yang buruk yang dapat diberikan, cara penyampaian informasi yang terbatas, masalah teknis dengan internet dan perangkat yang digunakan di pengadilan, pembelaan yang tidak optimal, dan beragam masalah lainnya.

Kelima, hukuman mati juga menyasar kelompok rentan seperti lansia, orang miskin, perempuan, buruh migran, dan anak-anak. Meskipun hukuman mati dilarang dikenakan untuk anak-anak, tapi praktiknya di Indonesia hal itu masih terjadi. Seperti yang dialami Mispo Gwijangge (MG).

Hukuman mati juga kerap menyasar kelompok rentan, seperti buruh migran. Ada juga menyasar Isnardi, kakek berusia 76 tahun yang pekerjaannya sebagai buruh gembala ternak. Isnardi dituduh sebagai kurir narkotika, dan baru kali pertama berurusan dengan penegakan hukum. Saat ini Isnardi menunggu eksekusi mati di lapas Binjai.

“Pengadilan tidak mampu melihat peran detail individu tersebut,” bebernya.

Keenam, kebijakan Grasi yang diatur UU No.5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No.22 Tahun 2002 tentang Grasi tidak memiliki parameter yang jelas. Beleid itu tidak memberikan pedoman ataupun standar kepada Presiden dan Mahkamah Agung (MA) dalam memutus permohonan grasi.

Dalam banyak perkara permohonan grasi, rekomendasi MA terlihat hanya mengulang bunyi putusan proses hukum sebelumnya. Tidak adanya perbedaan pertimbangan rekomendasi MA untuk grasi dan putusan sebelumnya membuat urgensi rekomendasi dari MA dalam sebuah permohonan grasi, khususnya pidana mati perlu dipertanyakan.

Koalisi berharap 6 catatan itu dapat digunakan Komite HAM PBB dalam melakukan UPR terhadap pemerintah Indonesia. Sehingga ada perbaikan kebijakan terutama terkait praktik hukuman mati.

Tags:

Berita Terkait