Koalisi Minta Presiden Batalkan Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM
Terbaru

Koalisi Minta Presiden Batalkan Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM

Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dinilai malah melahirkan sejumlah kontroversi serta berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

“Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, juga terus menjadi perhatian serius Pemerintah”. Penggalan kalimat tersebut terucap dari bibir Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan Sidang Tahunan MPR peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-77 Republik Indonesia. Pidato tersebut menuai banyak kritik soal penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat melalui Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang telah ditandatanganinya.

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Muhammad Isnur melihat pidato Presiden Jokowi sebagai bentuk klaim keliru dan bertolak belakang dengan realita kondisi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. Setelah 8 tahun era pemerintahan Presiden Jokowi, kondisi penyelesaian beban bangsa Indonesia malah mengalami kemunduran.

Belum dituntaskannya pelanggaran HAM berat, pemerintah melalui Keppres tersebut malah menempuh pilihan mengangkat para ‘penjahat’ HAM menjadi pejabat, hingga kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai ketentuan hukum dan berperspektif terhadap korban. Bagi Koalisi, kata Isnur, kemunduran tersebut membuktikan pemerintah tak memiliki political will untuk menuntaskan Pelanggaran HAM Berat masa lalu.

“Pernyataan ‘menjadi perhatian serius’ dalam pidato tersebut dapat kita nilai sebagai kepura-puraan Presiden semata,” ujarnya melalui keterangannya, Jum’at (19/8/2022).

Baca Juga:

Dia beralasan dalam banyak kesempatan, pemerintahan Jokowi malah menunjukan ketidakseriusan. Sejauh ini, kata Isnur, hanya terdapat 1 Pengadilan HAM yang baru digelar sejak Jokowi menjabat Presiden sejak 2014. Menurut Koalisi, kata Isnur, proses Pengadilan HAM atas peristiwa Paniai 2014 pun hanya terdapat 1 terdakwa. Begitu pula penentuan lokasi pengadilan di Makassar, bukan malah di Papua. Selain itu, minimnya pelibatan korban menjadi catatan buruk.

Koalisi menilai Pengadilan HAM yang bakal berlangsung diprediksi gagal menghadirkan keadilan bagi publik dan mengulang tiga proses sebelumnya yang tidak menghukum satu pun pelaku. Ingatan publik pun kuat soal bagaimana Jaksa Agung yang Presiden pilih yakni Sanitiar Burhanudin malah melawan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II di Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Padahal telah keliru menyatakan bahwa kasus tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat,” kata Ketua UmumYLBHI ini.

Selain itu, pernyataan Presiden Jokowi terkait proses pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) perlu ditelisik lebih jauh. Sebab, sepanjang catatan Koalisi, proses di internal pemerintah pun tidak melibatkan partisipasi publik. Terutama penyintas dan keluarga korban. Bahkan, tak adanya pembahasan lebih lanjut mengenai korelasi antara fungsi KKR dan peranannya dalam proses hukum di Pengadilan HAM.

Menurutnya, pengalaman dibatalkannya UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi tak juga membuat pembahasan mengenai bentuk KKR yang sesuai dengan ketentuan hukum dan HAM secara internasional bagi kepentingan korban dan publik. Terlebih, prosesnya tak dapat diakses oleh publik.

Anggota Koalisi lain, Suciwati menyoroti Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang malah melahirkan sejumlah kontroversi serta berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia. Mulai dari proses yang tertutup, hingga dokumen yang tak kunjung dapat diakses. Sebaliknya malah menjadi tanda tanya soal latar belakang, motif, dan komposisi individu yang dipilih presiden mengisi tim tersebut.

“Kami melihat upaya untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial hanya sebagai kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan dan luar biasa di Indonesia ini,” ujarnya.

Istri mendiang aktivis HAM Munir itu melanjutkan, Koalisi belum melihat rujukan regulasi atau standar norma pengaturan yang presiden dan jajarannya pilih dalam menyusun beleid tersebut. Sebab, tak ada dikotomi terminologi yudisial dan non-yudisial di dua regulasi utama soal penanganan pelanggaran HAM berat yakni UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Menurut Koalisi, kata Suciwati, Keppres tersebut secara tegas memperlihatkan pemerintah mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu dijadikan jalan pintas untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat. Padahal, hal tersebut hanyalah cara yang dipilih pemerintah melayani pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial.

“Ini tidak dapat dipungkiri terjadi akibat adanya konflik kepentingan dalam tubuh pemerintahan hari ini,” ujarnya.

Baginya, soal efektivitas yang didasari oleh tugas dan fungsi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pun patut dipertanyakan. Menurutnya, output yang diharapkan muncul seperti analisis pelanggaran HAM hingga pemulihan, sejatinya sudah diatur dalam UU 26/2000. Tapi, bila regulasi dan kelembagaan di level UU saja tak berhasil akibat tidak difungsikan secara maksimal, apalagi oleh tim yang dibentuk tanpa partisipasi publik yang memadai tersebut.

Lebih lanjut Suciwati berpendapat gagasan mengenai tim yang dibuat seolah menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, ingin mengaburkan penuntasan pelanggaran HAM berat ini bukanlah ide pertama Presiden Joko Widodo dan jajarannya.

Setidaknya tercatat ada inisiatif seperti Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran di periode 2015, Dewan Kerukunan Nasional di 2016, hingga Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di 2018. Menurutnya, wacana seperti Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB) pun menguap layaknya konsep-konsep sebelumnya. Sebab dibuat dengan intensi memutihkan kesalahan para pelaku bukan untuk memulihkan para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.

“Mendesak Presiden membatalkan Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu,” katanya.

Tags:

Berita Terkait