Karbon dioksida (CO2) dari deforestasi yang lepas ke atmosfer tidak serta-merta bisa diserap pohon. Sebaliknya, pembakaran biomassa hutan menciptakan ‘utang karbon’ atau kelebihan karbon di atmosfer. Dia menilai pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET.
“Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” imbuhnya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hadi Priyanto mencatat Pasal 9 ayat (1) RUU EBET menggolongkan nuklir sebagai salah satu energi baru. Begitu juga batubara cair atau gas. Padahal, berbagai sumber yang diklaim sebagai energi baru itu memiliki risiko yang tinggi. Antara lain terhadap kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Ongkosnya juga tidak murah misalnya, untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dibutuhkan waktu dan biaya yang lebih besar.
“Ini bisa semakin membebani APBN,” katanya.