Komisioner KY Beberkan 6 Perspektif Masyarakat Terhadap Pengadilan
Terbaru

Komisioner KY Beberkan 6 Perspektif Masyarakat Terhadap Pengadilan

Lembaga peradilan perlu lebih terbuka terhadap masukan dan secara berkala memetakan persepsi publik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Narasumber Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema 'Menjaga Marwah dan Integritas Hakim', Selasa (31/5/2022). Foto: RES
Narasumber Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan dengan mengangkat subtema 'Menjaga Marwah dan Integritas Hakim', Selasa (31/5/2022). Foto: RES

Kepercayaan publik terhadap pengadilan sangat penting. Anggota Komisi Yudisial RI/ Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian, dan Pengembangan Komisi Yudisial, Binziad Kadafi, mengatakan pengadilan mengandalkan kekuasaan yudisialnya pada kepercayaan publik terhadap putusan-putusannya untuk dihormati dan dilaksanakan.

Binziad melihat pengadilan di Indonesia juga mengutamakan kepercayaan publik. “Ketua MA sejak reformasi sampai sekarang dalam setiap kesempatan resmi dan forum-forum selalu menyampaikan pesan pentingnya kepercayaan publik terhadap pengadilan dan insan peradilan perlu mewujudkannya,” kata Binziad Kadafi dalam kegiatan Sarasehan Internasional Pembaru Peradilan: Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Penguatan Integritas Pengadilan”, Selasa (31/5/2022) lalu.

Menurut Binziad, kepercayaan publik ditentukan oleh berbagai persepsi yang tumbuh di masyarakat tentang pengadilan. Semakin positif persepsi publik, semakin kuat kepercayaan terhadap pengadilan. Sebaliknya jika yang dominan persepsi negatif, kepercayaan publik yang dibutuhkan pengadilan menghadapi masalah.

Baca Juga:

Ia menyebut sedikitnya ada 6 persepsi publik terhadap pengadilan. Pertama, proses peradilan berbiaya tinggi. Untuk beracara di pengadilan, terutama dalam kasus perdata, dibutuhkan biaya yang cukup besar. Belum lagi, biaya jasa pengacara sering dianggap sebagai bagian dari biaya proses peradilan.

Kedua, menyangkut integritas proses peradilan. Kesenjangan antara hakim dan independensinya menurut berbagai sumber masih banyak dikaitkan dengan praktik korupsi dan perilaku tidak patut lainnya. Ketiga, inkonsistensi putusan pengadilan. Publik terkadang mencatat kasus serupa diputus berbeda tidak hanya oleh pengadilan berbeda tapi juga di pengadilan yang sama. “Terkadang juga hakimnya sama,” ujarnya.

Keempat, lamanya proses berperkara. Meskipun sudah ada pedoman yang diterbitkan MA tentang jangka waktu penyelesaian perkara, tapi kemampuan hakim untuk mematuhinya masih beragam. Insentif untuk mempercepat penanganan perkara dan disinsentif untuk tidak menundanya belum terlalu kuat.

Tags:

Berita Terkait