Komnas HAM: UU PSDN Bahaya bagi Demokrasi dan Penegakan HAM
Berita

Komnas HAM: UU PSDN Bahaya bagi Demokrasi dan Penegakan HAM

Karena pelaksanaan UU PSDHN dapat mengembalikan Indonesia kembali ke era totaliter dan sentralistik serta berpotensi melanggar prinsip conscientious objection karena ada pengaturan absolut melalui ancaman pidana bagi pihak yang tidak mengikuti agenda yang telah ditetapkan, misalnya mobilisasi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kantor Komnas HAM di Jakarta. Foto: RES
Kantor Komnas HAM di Jakarta. Foto: RES

Jelang akhir masa jabatannya, DPR dan pemerintah telah mengesahkan sejumlah RUU menjadi UU. Salah satunya RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN). Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari dalam laporan akhirnya menerangkan RUU PSDN merupakan inisiatif pemerintah karena kebutuhan pemerintah di bidang pertahanan negara.

 

Menurut Kharis pelibatan sumber daya nasional untuk pertahanan negara bertujuan untuk memperbesar dan menguatkan komponen utama. Sebab, ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara di abad sekarang sudah tidak mungkin diletakan pada fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) semata. Untuk itu, diperlukan kekuatan cadangan dan pendukung.

 

Materi muatan UU PSDN ini antara lain mengatur keikutsertaan warga negara dalam usaha bela negara. Kemudian penataan komponen pendukung, pembentukan komponen cadangan, penguatan komponen utama, serta mobilisasi dan demobilisasi. Terdapat hal penting yakni penambahan sifat sukarela dalam keikutsertaan warga negara menjadi komponen pendukung dan komponen cadangan.

 

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pertahanan negara merupakan fungsi pemerintah dalam melindungi serta memajukan masyarakat dan ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana tujuan negara Indonesia dalam konstitusi. RUU PSDN mengatur potensi dan sumber daya manusia, sumber daya alam, sarana dan prasarana pertahanan negara.

 

Dia berharap dengan disahkannya RUU PSDN menjadi UU dapat menjadi payung hukum dalam sistem bela negara dan pengaturan komponen cadangan dan komponen pendukung. “Kami mewakili Presiden menyatakan persetujuan RUU PSDN disahkan menjadi UU,” kata Ryamizard belum lama ini di Jakarta. Baca Juga: Begini Ratio Legis Disahkannya UU PSDN

 

Komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian Mohammad Choirul Anam justru menilai UU PSDN berbahaya bagi demokrasi dan penegakan HAM. Regulasi ini berpotensi menyeret pemerintahan kembali pada masa sebelum era reformasi yakni totaliter dan sentralistik. Reformasi mengkritik keras praktik kekuasaan totaliter dan indoktrinasi satu pintu.

 

Anam mengakui perlu ada upaya membangun dan kemampuan menjaga terus menerus agar warga mencintai bangsa dan negara. Tapi, upaya tersebut tidak perlu dilakukan lewat pendekatan militeristik sebagaimana diatur dalam UU PSDN ini. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk membangun kesadaran mencintai bangsa dan negara antara lain melalui pendidikan setiap warga negara.

 

Menurut Anam, UU PSDN berpotensi melanggar prinsip conscientious objection karena ada pengaturan absolut melalui ancaman pidana bagi pihak yang tidak mengikuti agenda yang telah ditetapkan, misalnya mobilisasi. Walau disebut menghormati HAM, termasuk hak milik dalam konteks sumber daya alam dan sumber daya buatan, tapi penggunaannya bersifat absolut jika telah ditetapkan. Intinya, tidak ada perlindungan hak milik, padahal ini bisa menjadi bagian dari prinsip kesukarelaan.

 

Anam juga melihat tidak ada kepastian hukum karena di satu aspek UU PSDN mengatur hak dan kewajiban, tapi di aspek yang lain ada ancaman pidana. “Jika posisinya itu hak, seharusnya diatur tanpa adanya ancaman,” kata dia di Jakarta, Senin (30/9/2019).

 

Baginya, UU PSDN seolah menjadikan semua warga negara masuk dalam yurisdiksi hukum militer. Padahal basis hukumnya adalah sipil. Menurutnya, masalah paling mendasar yakni pengadilan militer sebagaimana diatur dalam UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi sebagaimana amanat reformasi dan tidak semua persoalan kehidupan dalam kewajiban bela negara adalah urusan militer.

 

Anam juga menyoroti soal pendanaan yang bisa berasal dari luar APBN. Ketika terjadi penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawabannya akan lemah. Anam menegaskan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan anggaran pertahanan negara berasal dari APBN. Begitu pula UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara mengatur pertahanan negara dibiayai dari APBN. Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan TNI serta komponen pertahanan lainnya.

 

“Jika swasta bisa memberikan dana, kalau begini postur dan manajemen pertahanan kita bagaimana? Berarti (pertahanan Negara) ditentukan oleh dana swasta?”

 

Tak kalah penting, Anam mencermati UU PSDN tidak mengatur jelas mekanisme mobilisasi dan demobilisiasi apakah dalam status perang atau nonperang. Jika bisa dikerahkan untuk nonperang, komponen pertahanan ini seperti komponen pendukung dan cadangan berpotensi digunakan untuk menghadapi konflik sosial.

 

“Misalnya konflik sosial di bidang pertambangan dan perkebunan, maka masyarakat akan dihadapkan dengan komponen ini,” ujarnya.

 

Atas dasar itu, Anam menegaskan UU PSDN berbahaya bagi demokrasi dan penegakan HAM sehingga layak diuji materi ke MK. Dia berharap ada pihak yang mau mengajukan uji materi ke MK. Cara lainnya, Presiden bisa menerbitkan Perppu atau DPR periode 2019-2024 bisa menerbitkan UU yang membatalkan UU PSDN.

 

“Jika terjadi perbedaan pandangan dan pendapat dalam situasi politik tertentu, kelompok tersebut bisa dikriminalkan lewat UU PSDN dengan menuding kelompok tersebut ‘anti negara’, sehingga bisa dipidana,” katanya.

Tags:

Berita Terkait