Kemudian para pendamping saksi dan korban juga perlu dilindungi secara khusus. Pasalnya, menurut Abdul Hakim, mereka banyak menjadi sasaran kekerasan mengingat peran mereka dalam membangkitkan keberanian moral para korban dan saksi untuk memberikan kesaksian di pengadilan.
Biasanya mereka yang menjadi pendamping adalah para pekerja HAM, meski tidak tertutup kemungkinan berasal dari kelompok masyarakat lain. Di Aceh, misalnya, beberapa sukarelawan LSM menjadi korban kekerasan karena peran mereka dalam pendampingan korban dan saksi.
Terganjal Ampres
Sebelumnya, rombongan perwakilan Koalisi LSM berharap kepada Komnas HAM agar melakukan pendekatan tertentu kepada pemerintah agar bisa secepatnya membahas RUU tersebut dengan DPR.
Supriyadi Widodo dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengatakan, sesungguhnya RUU Perlindungan Saksi ini sudah lama sekali diwacanakan, bahkan sempat menjadi usul inisiatif DPR pada 2003. Namun hingga detik ini belum ada perkembangan berarti.
DPR sendiri, lanjut Supriyadi, menyatakan bahwa RUU ini termasuk dalam prioritas yang akan dibahas. Namun dari urut-urutan prioritas, RUU ini ada pada urutan 35 dari 50-an RUU yang menjadi prioritas. Artinya, bisa jadi RUU ini tak akan dibahas pada 2005 ini.
Ia menekankan, satu hal yang merisaukan koalisi adalah bahwa amanat presiden (ampres) untuk membahas RUU ini tak kunjung keluar. Padahal ampres ini sangat diperlukan sebagai pengantar presiden yang menunjuk menteri mana yang akan menjadi wakil pemerintah dalam membahas RUU itu di DPR.
"Setidaknya jika sudah ada ampres ada kepastian bahwa RUU ini memang akan dibahas," cetus Supriyadi.