Komnas Perempuan Dorong Ratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa
Terbaru

Komnas Perempuan Dorong Ratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa

Belum diratifikasinya konvensi Perlindungan Dari Penghilangan paksa berdampak pada terhambatnya pemenuhan hak keluarga korban untuk mengetahui kebenaran; kemajuan proses hukum yang berjalan; dan upaya pemerintah mencari dan menemukan korban.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kantor Komnas Perempuan di Jakarta. Foto: Istimewa
Kantor Komnas Perempuan di Jakarta. Foto: Istimewa

Komnas Perempuan mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan penghilangan paksa merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang sekaligus bentuk kejahatan berlanjut (continuous crimes).

Penghilangan paksa memberikan dampak berkelanjutan selain terhadap korban juga keluarga karena mengalami penderitaan psikis, sosial dan ekonomi akibat tidak mengetahui di mana dan bagaimana nasib dari anggota keluarganya. Andy menyebut bagi perempuan yang menjadi korban, kerentanan dan dampak yang dihadapi bersifat khas dan berdimensi gender.

“Pengesahan konvensi Penghilangan Paksa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan,” kata Andy ketika dikonfirmasi, Senin (5/9/2022).

Komnas Perempuan mencatat beberapa kerentanan dan dampak khas yang dialami perempuan sebagai korban secara langsung dan tidak langsung. Sebagai korban langsung, perempuan berpotensi mengalami kekerasan seksual saat penangkapan atau penahanan.

Perempuan korban langsung dan perempuan anggota keluarga dari korban penghilangan paksa juga menghadapi penderaan psikologis dan disfungsi keluarga; beban majemuk berlapis dan ketimpangan gender; persoalan terkait administrasi kependudukan; dan stigma. Serta marginalisasi akibat konstruksi sosial yang meminggirkan perempuan dalam sejarah, tradisi, agama, budaya dan hukum.

“Kelelahan psikis sebagai korban penghilangan paksa mengakibatkan gangguan psikologis atau kesehatan jiwa, yang semua itu kemudian berefek domino pada kesejahteraan diri dan keluarga,” ujar Andy.

Andy mengingatkan sejumlah kasus penghilangan paksa yang tercatat, seperti tragedi 1965-1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1980-an, Darurat Operasi Militer di Aceh (1990-1998), Darurat Operasi Militer di Papua dan beberapa konflik bersenjata di Papua termasuk kasus di Wasior Papua (2001). Kemudian, kerusuhan 27 Juli 1996 dan Mei 1998, yang diawali dengan peristiwa penculikan aktivis pro demokrasi. Belum lagi kasus WNI yang mengalami penghilangan paksa di luar negeri.

Tags:

Berita Terkait