Komnas Perempuan Minta RUU PKS Segera Disahkan
Terbaru

Komnas Perempuan Minta RUU PKS Segera Disahkan

Pembahasan terhambat karena ada kekeliruan cara pandang melihat RUU PKS. Karena itu, penting menyamakan persepsi antar fraksi dan anggota dewan sebelum membahas RUU PKS.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor menilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum memberikan perlindungan kepada perempuan korban kekerasan seksual. “Perumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan seksual,” kata Maria Ulfah, seperti dikutip Antara, Kamis (22/7/2021).

Menurut Maria, KUHP hanya mengenali istilah perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Sedangkan, mengacu pada pengaduan korban kekerasan seksual kepada Komnas Perempuan, terdapat berbagai kekerasan seksual yang menurut Maria belum diatur di dalam KUHP dan kini menjadi isu di Indonesia.

“Pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual merupakan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang belum dikenali oleh sistem hukum Indonesia,” ujar Maria.

Maria mengatakan dampak yang diakibatkan karena ketidakmampuan KUHP melindungi korban kekerasan seksual adalah sulitnya korban untuk mendapatkan akses untuk menuntut keadilan. “Di mana hak untuk keadilan merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” kata Maria menegaskan. (Baca Juga: Sejumlah Usulan Komnas Perempuan dalam RUU PKS)

Untuk itu, menurut Maria, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh korban-korban kekerasan seksual perlu segera disahkan. Pasalnya, RUU PKS sudah masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioitas 2021 nomor urut 16.

Dia melanjutkan RUU PKS telah diajukan oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2012 dan masih belum memperoleh persetujuan untuk disahkan oleh DPR. Hal ini diakibatkan oleh beberapa substansi yang membutuhkan peninjauan kembali. “Jika RUU PKS tidak segera disahkan, ini bisa menjadi indikator bahwa negara telah membiarkan kekerasan seksual itu untuk terjadi,” tutur Maria.

Maria juga berpendapat bahwa penundaan pengesahan RUU PKS merupakan bentuk pembatasan akses menuju keadilan bagi korban, serta tidak adanya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan, anak perempuan, maupun perempuan penyandang disabilitas. “Puluhan ribu korban kekerasan seksual menanti akses terhadap keadilan,” kata dia.

Dalam kurun satu tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat pengaduan masyarakat terkait kekerasan seksual di ruang siber meningkat. Kekerasan seksual berbasis gender siber merupakan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan menggunakan teknologi informasi ataupun transaksi elektronik. Tak hanya terbatas mendistribusikan atau mentransmisikan, tetapi juga membuat dapat diaksesnya informasi elektronik ataupun dokumen elektronik.

Komnas Perempuan juga mendorong adanya pengaturan tambahan pidana tambahan 1/3 hukuman bila setiap tindak pidana yang disertai dengan kekerasan berbasis gender di ruang siber. “Kami mengusulkan sistem pemidanaan di RUU PKS ini menggunakan double track system, dimana ada pidana tambahan dan ada tindakan yang dilakukan bersamaan,” Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah beberapa waktu lalu.  

Dia menilai usulan tersebut telah disesuakan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Buku I yang memuat adanya pidana pokok dan tambahan. Kemudian, adanya tindakan berupa rehabilitasi yang diberikan bagi pelaku pidana yakni dalam bentuk konseling sebagai upaya mengubah perilaku.

Hal penting lain, kata Siti Aminah, perempuan korban kekerasan seksual tak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata sebagaimana termuat dalam Pasal 21 draf RUU PKS yang diusulkannya. Maklum, selama ini perempuan korban kekerasan seksual enggan melaporkan kasus yang dialaminya. Selain sulitnya pembuktian, juga kerap mendapat ancaman lapor balik dengan pidana atau gugatan perdata dari pelaku yang diduga melakukan pidana tersebut.

Menurutnya, RUU PKS harus memuat 6 elemen kunci penghapusan kekerasan seksual yakni pencegahan, 9 bentuk tindak pidana kekerasan seksual, hukum acara, sanksi pidana, hak korban, dan pemantauan. Enam elemen ini harus keseluruhan. “Karena kalau kurang satu saja, penangananya tidak komprehensif,” kata dia.

Baginya, 6 elemen kunci itu belum terinformasikan dengan baik di masyarakat. Akibatnya masing-masing pihak membaca dan memaknai kekerasan seksual kerap berbeda-beda. Melalui penyempurnaan naskah akademik dan draf RUU usulan Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil, serta menyandingkan dengan draf RUU PKS 2016, harapannya draf RUU PKS semakin baik.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan mengusulkan soal peran serta masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mulai keterlibatan sejak tahap pencegahan, perlindungan, pemulihan, pengawasan.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan sudah empat kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Panitia Kerja (Panja) RUU PKS dengan berbagai para pemangku kepentingan menemui persoalan terbesar yakni adanya kekeliruan cara pandang dan kekeliruan melihat RUU PKS. Karena itu, penting menyamakan persepsi antar fraksi dan anggota dewan sebelum membahas RUU PKS.

“Semua pihak hendaknya beradu argumentasi berlandaskan fakta, data, dan pengalaman empirik selama ini. Jangan bersandar pada interpretasi dan tuduhan abstrak yang mengawang-awang,” kata Taufik Basari dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Mengawal RUU PKS dalam Prolegnas 2021”, Rabu (21/7/2021) kemarin. (ANT)

Tags:

Berita Terkait