Kompensasi Korban Terorisme Masih Jadi Figuran dalam Revisi UU Anti Terorisme
Berita

Kompensasi Korban Terorisme Masih Jadi Figuran dalam Revisi UU Anti Terorisme

Mengenai janji kompensasi yang harus dibayarkan negara masih belum memuaskan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Anggara berpendapat pemberian kompensasi harusnya diberikan segera setelah proses identifikasi korban dilakukan. “Kewajiban negara memberikan rasa aman pada masyarakat, termasuk membayarkan kompensasi, kalau di perdata seperti subrogasi hutang saja, dibayarkan dulu,” kata dia.

 

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengatakan sebagian besar permasalahan soal korban telah dikompromikan dalam Revisi UU Anti Terorisme. Meskipun memang ada yang belum memuaskan.

 

(Baca Juga: Begini Hukumnya Libatkan Anak dalam Aksi Terorisme)

 

“Meskipun kalau menurut kami, berdasarkan pengalaman di banyak negara, untuk kompensasi ini tidak perlu menunggu atau berdasarkan putusan pengadilan. Cukup tentukan saja skema kompensasi yang bisa dibayarkan seperti apa,” katanya kepada hukumonline.

 

Semendawai menjelaskan model tersebut telah digunakan di berbagai negara dalam pembayaran kompensasi bagi korban terorisme. Skema ini mirip seperti cara perusahaan asuransi mengatur besaran nilai yang dapat dibayarkan bagi pemegang polis asuransi.

 

“Misalnya kalau meninggal dunia dibayarkan sekian, cacat permanen besarnya sekian, kalau harta benda rusak maksimal berapa persen bisa dibayarkan, bagi korban tinggal mendapatkan keterangan dia korban dan apa kerugian yang diderita,” jelas Semendawai.

 

Selama ini memang tidak ada kejelasan formula penghitungan besar kompensasi yang bisa didapatkan korban. Apalagi mekanismenya harus menunggu dikabulkan oleh putusan pengadilan.

 

Semendawai mengatakan bahwa LPSK memang sudah dilibatkan dalam RUU Anti Terorisme. Namun soal skema besaran hak kompensasi tidak ada pembahasan sama sekali. “Ganti kerugian bergantung pada nilai yang diajukan korban, nanti hakim memutuskan. Nanti akan lewat LPSK yang verifikasi dan koordinasi ke Jaksa untuk dimasukkan dalam tuntutan. Tidak ada patokan besarnya,” lanjutnya.

 

Semendawai mengakui bahwa kompromi yang dilakukan tidak bisa memenuhi sepenuhnya harapan LPSK. Menurutnya, setidaknya dengan melibatkan LPSK untuk ikut menangani hak korban menjadi langkah maju agar hak-hak korban bisa terpenuhi lebih baik ketimbang sebelumnya.

 

Tags:

Berita Terkait