Komposisi Pimpinan DPRD Kembali Dipersoalkan
Berita

Komposisi Pimpinan DPRD Kembali Dipersoalkan

Majelis meminta para pemohon mengelaborasi alasan-alasan kerugian konstitusional.

ASH
Bacaan 2 Menit
Komposisi Pimpinan DPRD Kembali Dipersoalkan
Hukumonline
Majelis MK menggelar sidang perdana dua permohonan pengujian Pasal 327 UU No. UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD, DPRD (UU MD3) terkaitkomposisi dan mekanisme pemilihan anggota DPRD. Permohonan yang tercatat dalam register No. 123/PUU-XII/2014 dan 124/PUU-XII/2014 ini diajukan sejumlah anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dan DKI Jakarta.  

Pemohonnya, adalah Jimmi Wilbadus (Partai Hanura), Yucundianus (PKB), Jefri Unbununaek (PKPI) memohon pengujian Pasal 327 ayat (2) UU MD3 dan Mohammad Sangaji (Partai Hanura), Veri Yonnevil, Wibi Andrino, Muannas memohon pengujian Pasal 327 ayat (1) huruf a UU MD3.

Mereka menilai ketentuan itu mengandung ketidakselarasan hukum karena berbeda dengan mekanisme pemilihan alat kelengkapan DPR dan pimpinan DPR yang dilakukan oleh anggota DPR. Selain itu, jumlah pimpinan DPRD dan keanggotaan DPRD tak selaras dengan fakta yang ada karena jumlah anggota DPRD DKI Jakarta melebihi 100 orang, sehingga seharusnya diikuti penambahan 1 wakil ketua DPRD lagi.       

“Ini melahirkan diskriminasi kewenangan dan mencederai demokrasi,” ujar kuasa hukum Jimmi dan kawan-kawan, Muhammad Syukur Mandar dalam sidang pendahuluan yang diketuai Wahiduddin Adams di ruang sidang MK, Rabu (19/11). Adams didampingi Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar selaku anggota majelis.

Pasal 327 ayat (1) huruf a menyebutkan pimpinan DPRD provinsi terdiri atas 1 ketua dan 4 orang wakil ketua DPRD yang beranggotakan 85 orang sampai dengan 100 orang. Ayat (2)-nya menyebutkan pimpinan DPRD berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi. Ayat (3)-nya menyebutkan ketua DPRD provinsi ialah anggota DPRD provinsi yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPRD provinsi.

Syukur melanjutkan model pengisian jabatan pada alat kelengkapan DPR dan DPRD yang berbeda bentuk pengabaian hak-hak konstitusional anggota DPRD. Dia menilai Pasal 327 ayat (2) dan ayat (3) UU MD3 sangat mengutamakan kepentingan kelompok dan kepentingan golongan dalam pengisian alat kelengkapan DPRD.
Dia juga menilai pasal itu telah membuka peluang bagi orang yang tidak memiliki kemampuan (kompetensi dan keahlian) untuk memimpin DPRD melalui pemberian kewenang-wenangan parpol untuk menunjuk mengangkat orang berdasarkan selera. Akibatnya, pemohon telah kehilangan kebebasannya untuk ikut serta mengisi alat kelengkapan DPRD yang menimbulkan ketidakadilan.

“Ini menghalangi hak kesempatan pemohon untuk ikut serta berperan demi kepentingan bangsa dan negara seperti dijamin Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D UUD 1945,” lanjutnya. “Karena itu, seharunsya Pasal 327 ayat (2) dan ayat (3) UU MD3 harus dihapus karena bertentangan UUD 1945.”

Sementara kuasa hukum Mohammad Sangaji dan kawan-kawan, Ramdan Alamsyah menilai pengaturan komposisi pimpinan DPRD yang terdiri dari ketua dan 4 wakil ketua ini belum mengakomodasi keanggotaan DPRD Provinsi (DKI Jakarta) yang jumlahnya lebih 100 orang. Sebab, saat ini keanggotaan DPRD DKI Jakarta melebihi jumlah yang ditentukan Pasal 327 ayat (1) huruf a UU MD3 yakni 106 orang.    

“Jadi penambahan kursi Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta sebanyak 1 kursi dinilai memenuhi aspek proposionalitas terhadap seluruh jumlah keanggotaan DPRD Provinsi DKI Jakarta yang melebihi 100 orang yakni 106 orang,” kata Ramdan.   

Menurut dia penambahan 1 kursi untuk Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI Jakarta bertujuan meningkatkan kinerja. Sebab, adanya 5 Komisi yang saat ini dimiliki DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat ditangani masing-masing satu wakil ketua. Karenanya, dia meminta agar Pasal 327 ayat (1) huruf a UU MD3 dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai 1 orang ketua dan 5 orang wakil ketua untuk DPRD Provinsi jika beranggotakan diatas 100 orang.

Atas permohonan Jimmi Wilbadus dan kawan-kawan ini, Maria mengakui pengaturan antara pemilihan pimpinan DPRD dan DPR berbeda. Namun, pemohon sendiri menyatakan keduanya merupakan lembaga yang berbeda karena DPR merupakan lembaga negara dan DPRD unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

“Kalau dua lembaga itu berbeda apakah pengisian pimpinannya dan alat kelengkapannya harus sama atau berbeda, bagaimana Saudara mau minta disamakan? Ini dipikirkan lagi logikanya, ini kan jadi aneh,” kritik Maria. “Pasal-pasal batu uji UUD 1945 juga harus dilihat kembali apa sudah tepat terkait hak-hak konstitusional Saudara?”

Menyangkut permohonan Mohammad Sangaji dan kawan-kawan, Maria mengkritik uraian permohonan yang disebut pemohon sebagai kasus konkrit yang implementasi Pasal 327 ayat (1) huruf a boleh ditafsirkan oleh pembentuk undang-undang. Dia mencontohkan kepala daerah bisa menunjuk wakilnya lebih dari satu orang hingga 5 orang.

“Ini choice of law yang merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembentuk undang-undang. Bisa saja, kita diyakinkan karena provinsi DKI Jakarta persoalannya terlalu kompleks, sehingga dibutuhkan tambahan 1 wakil ketua DPRD,” kata Maria mengingatkan.      

Sementara Patrialis mempertanyakan kerugian konstitusional yang dialami pemohon Wibi Andrino yang tidak mungkin menjadi pimpinan DPRD. “Dia hanya sebagai pembayar pajak, ini coba diperbaiki legal standing-nya sebagai pembayar pajak,” kata Patrialis. “Alasan-alasan kerugian konstitusional para pemohon harus dielaborasi lebih jauh lagi!”      
Tags: