MK Tolak Permohonan Anggota DPRD Purwakarta
Berita

MK Tolak Permohonan Anggota DPRD Purwakarta

Pemohon mengakui persoalan pengujian undang-undang ini bagian dari open legal policy pembentuk undang-undang.

ASH
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian Pasal 376 dan Pasal 377 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD, DPRD (UU MD3) terkait tata cara penetapan pimpinan DPRD yang diajukan 24 anggota DPRD Kabupaten Purwakarta. Mahkamah menilai mekanisme pemilihan pimpinan DPRD berdasarkan perolehan kursi terbanyak itu tidak merugikan hak konstitusional para pemohon.  

“Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 93/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Rabu (5/11).

Pertimbangannya, MK menganggap model tata cara pemilihan pimpinan DPRD kabupaten/kota dalam UU MD3 ini sama sekali tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusi para pemohon sebagai partai politik yang memperoleh suara dan kursi terbanyak pada pemilihan legislatif 2014.

Menurut Mahkamah, dalam praktik politik di Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan sistem multipartai, kesepakatan dan kompromi politik di DPR sangat menentukan ketua dan pimpinan DPR/DPRD. Sebab, tidak ada partai politik yang benar-benar memperoleh mayoritas mutlak kursi di DPR/DPRD. Karenanya, kompromi dan kesepakatan berdasarkan kepentingan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.

Sebelumnya, 24 anggota DPRD Purwakarta memohon pengujian dua pasal itu lantaran menilai mekanisme pemilihan pimpinan DPRD berdasarkan perolehan kursi terbanyak itu tidak mencerminkan prinsip persamaan dan perlakuan yang adil (diskriminatif). Mereka beralasan dalam tata tertib (tatib) yang dibuat DPRD seluruh anggota menyetujui kalau pemilihan pimpinan DPRD dilakukan dengan cara musyawarah, bukan berdasarkan perolehan kursi terbanyak.

Akan tetapi, dengan berlakunya Pasal 376 dan Pasal 377 dalam UU MD3, tidak mungkin tatib tersebut dilaksanakan. Karenanya, pihaknya meminta  MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan menyerahkan cara pemilihan DPRD kepada masing-masing DPRD yang dimuat dalam aturan tata tertibnya.  

Usai persidangan, kuasa hukum perkara ini, Ahmad Irawan menghormati putusan MK. Sebab, ketentuan yang dimohonkan pengujian memang bagian dari open legal policy pembentuk undang-undang. “Terkait isi putusan MK menyatakan bagian kebijakan hukum terbuka. Artinya mengenai pemilihan pimpinan DPRD itu tergantung pada pembentuk Undang-undang,” kata Irawan di Gedung MK.

Irawan menegaskan dengan putusan ini sebenarnya pengisian posisi pimpinan di DPRD bisa saja ditempuh melalui pemilihan suara terbanyak (musyawarah atau voting) atau ditetapkan berdasarkan perolehan suara terbanyak dalam pemilu. Namun, kedua mekanisme itu bisa tergantung pada pilihan pembuat undang-undang.

Artinya, kata dia, putusan MK ini membenarkan proses penetapan pimpinan DPRD Purwakarta untuk periode 2014-2019 yang telah berlangsung. Posisi jabatan pimpinan DPRD Purwakarta dipegang anggota DPRD dari Partai Golkar sebagai partai dengan perolehan kursi terbanyak saat Pemilu Legislatif 2014.
Tags:

Berita Terkait