Perseteruan antara KPK dengan Polri dinilai menguntungkan koruptor. Langkah mempertemukan kedua pimpinan lembaga dalam satu forum diperlukan untuk menemukan jalan keluar terhadap perseteruan yang tak kunjung selesai. Demikian disampaikan ketua Komisi Hukum DPR, Gede Pasek Suardika, Senin (8/10).
“Kita perlu instropeksi karena kalau ini tetap terjadi yang diuntungkan adalah Koruptor,” ujarnya.
Pasek menyayangkan tindakan Polri yang menggeruduk kantor KPK pada akhir pekan lalu. Menurutnya, secara etis dan taktis tindakan tersebut kurang baik. Pasalnya, Novel Baswedan sedang menjalankan tugas sebagai penyidik dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) yang melibatkan jenderal polisi bintang dua, Djoko Susilo. Namun secara yuridis, ia berpedapat pidana umum yang diduga dilakukan oleh Novel Baswedan menjadi ranah kepolisian untuk diproses hingga berujung ke meja hijau.
Tak bisa dipungkiri, tindakan beberapa anggota Polri itu berdampak terhadap rusaknya hubungan antara kedua lembaga yang sedang dijalin. Apalagi, Polri dan KPK sempat memiliki pengalaman yang serupa dalam kasus ‘cicak vs buaya’ beberapa tahun silam.
Atas dasar itu, beberapa pekan lalu, Komisi Hukum DPR mengundang ketiga lembaga yakni KPK, Polri dan Kejaksaan duduk bersama untuk membangun pola koordinasi dalam pemberantasan korupsi. Sayangnya, pertemuan itu tidak maksimal. “Jilid II (pertemuan, red) diujicobakan, tapi tidak bisa ketemu, akhirnya keburu meledak seperti ini. Sangat disesalkan,” ujar politisi Partai Demokrat itu.
Anggota Komisi Hukum Adang Daradjatun berpendapat, perselisihan antara KPK-Polri semestinya dapat selesai dengan catatan adanya sikap kenegarawanan dari pimpinan kedua lembaga tersebut. Dia menilai kasus yang sedang ditangani KPK yang melibatkan anggota Polri terkait penyidikan merupakan mekanisme di antara kedua lembaga penegak hukum tersebut.
“Harus ada sikap kenegarawanan di antara kedua pimpinan lembaga negara untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.