Kontrak dalam Kegiatan Ekonomi Kreatif Sebagai Objek Jaminan Utang
Kolom

Kontrak dalam Kegiatan Ekonomi Kreatif Sebagai Objek Jaminan Utang

Suatu kontrak atau perjanjian tidak hanya memberikan hak, melainkan juga membebankan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak di dalam kontrak sebelum pihak yang bersangkutan dapat menagihkan hak yang diberikan dalam kontrak itu.

Bacaan 6 Menit
Kontrak dalam Kegiatan Ekonomi Kreatif Sebagai Objek Jaminan Utang
Hukumonline

Pada tanggal 12 Juli 2022, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif yang di dalamnya mengatur, antara lain pembiayaan Ekonomi Kreatif. Ekonomi Kreatif sendiri didefinisikan sebagai perwujudan nilai tambah dari Kekayaan Intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan/atau teknologi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UU Ekonomi Kreatif dan Pasal 1 ayat 1 PP 24/2022.

Terkait dengan pembiayaan ekonomi kreatif, Pasal 7 PP 24/2022 membuka kesempatan bagi pelaku ekonomi kreatif untuk mengajukan pembiayaan berbasis Kekayaan Intelektual kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan nonbank. lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan nonbank kemudian akan melakukan verifikasi dan penilaian terhadap kekayaan intelektual yang dijadikan agunan.

Berdasarkan Pasal 9 PP 24/2022, selain jaminan fidusia terhadap kekayaan intelektual, objek jaminan utang dalam pelaksanaan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual dapat juga diberikan dalam bentuk kontrak dalam kegiatan ekonomi kreatif. Seperti perjanjian lisensi atau kontrak/kerja/surat perintah kerja yang diterima pelaku ekonomi kreatif (lihat penjelasan Pasal 9 ayat 2 huruf b PP 24/2022) dan/atau hak tagih dalam kegiatan ekonomi kreatif seperti hak tagih atas royalti yang diwajibkan dibayar pengguna lagu dan/atau alat musik untuk penggunaan secara komersial (lihat penjelasan Pasal 9 ayat 2 huruf c PP 24/2022).

Baca juga:

Perlu diingat bahwa hak tagih sendiri sebetulnya dapat dianggap sebagai benda bergerak tidak berwujud berdasarkan Pasal 503 jo Pasal 511 KUHPerdata. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 1153 KUHPerdata, tagihan atas nama dapat dijadikan objek gadai dimana penyerahannya dilakukan dengan cara pemberitahuan kepada orang yang kepadanya hak gadai itu harus dilaksanakan.

Di samping itu, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia khususnya Pasal 1 ayat 4 jo. Pasal 5 ayat (1), hak tagih juga dapat dibebankan dengan jaminan fidusia melalui pembuatan akta jaminan fidusia. Di lain sisi, untuk kontrak dalam kegiatan ekonomi kreatif belum ada ketentuan yang secara tegas mengatur kontrak sebagai objek jaminan karena kontrak sesungguhnya adalah kesepakatan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya.

Dengan kata lain kontrak tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai benda. Lalu bagaimana cara pelaku ekonomi kreatif dapat menjadikan kontrak yang dimilikinya sebagai jaminan utang?

Jika melihat contoh-contoh kontrak yang disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 9 PP 24/2022, kontrak dalam kegiatan ekonomi kreatif merupakan dasar perolehan hak bagi pelaku ekonomi kreatif. Baik hak tagih untuk pekerjaan yang akan dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif maupun hak sebagai penerima lisensi atau bahkan pemberi lisensi. Tetapi perlu diingat, suatu kontrak atau perjanjian tidak hanya memberikan hak, melainkan juga membebankan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak di dalam kontrak sebelum pihak yang bersangkutan dapat menagihkan hak yang diberikan dalam kontrak itu. Dengan demikian, pembebanan jaminan terhadap sebuah kontrak tidak sesederhana pembebanan jaminan terhadap sebuah hak tagih sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.

Di tahun 2006, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor C.HT.01.10-74 Tahun 2006 tentang Permohonan yang di dalamnya menegaskan dan menyebutkan bahwa sikap Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Provinsi DKI untuk selanjutnya menolak jaminan fidusia berupa rekening atau hak perorangan lainnya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Alasan dari penolakan menerima rekening bank sebagai jaminan fidusia antara lain adalah karena rekening bank merupakan hak perorangan yang melekat pada orang yang mempunyai rekening, tidak dapat dialihkan dan dipindahtangankan. Jika mengacu pada alasan yang digunakan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Provinsi DKI, maka hak perorangan yang timbul dari kontrak dalam kegiatan Ekonomi Kreatif pun tidak dapat menjadi objek jaminan fidusia.

Jika melihat esensi dari pemberian jaminan utang yaitu agar ketika debitur wanprestasi, kreditur dapat mengeksekusi objek jaminan dan mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan objek jaminan maka memang seharusnya objek jaminan merupakan benda yang dapat dipindahtangankan kepada pihak ketiga sebagai pembeli. Oleh karena itu, jika berbicara kontrak sebagai objek jaminan utang, maka kita perlu membahas masalah pengalihan kontrak atau lebih tepatnya hak dan kewajiban di dalam kontrak kepada pihak ketiga.

Dalam hal yang dialihkan hanyalah hak tagih yang timbul dari sebuah kontrak yang merupakan piutang atas nama maka pengalihan tersebut dapat dilakukan dengan cara cessie sesuai dengan ketentuan Pasal 613 KUHPerdata. Namun terkait hak tagih, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa hak tagih dapat dijadikan objek jaminan sehingga Pasal 613 KUHPerdata akan diterapkan ketika kreditur melakukan lelang eksekusi terhadap hak tagih yang menjadi objek jaminan sebagai cara penyerahan hak tagih kepada pembeli.

Selain cessie, sebuah kontrak juga dapat dialihkan kepada pihak selain para pihak di dalam kontrak dengan cara novasi atau pembaruan utang. Novasi sebetulnya dapat diartikan sebagai penggantian perikatan lama dengan perikatan yang baru. Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 1413 KUHPerdata yang mendeskripsikan tiga macam jalan untuk pembaruan utang atau novasi:

  1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya;
  2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya;
  3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk atau menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan dari perikatannya.

Pasal 1413 ayat 1 KUHPerdata adalah novasi objektif sementara Pasal 1413 ayat 2 KUHPerdata adalah novasi subjektif. Pada novasi subjektif, pergantian pihak dalam kontrak sudah menunjukan adanya novasi. Novasi subjektif ini berbeda dengan subrogasi karena subrogasi baru terjadi bila ada pembayaran atas perikatan yang lama sementara novasi dapat terjadi tanpa adanya pembayaran. Novasi objektif lebih sulit untuk diukur kapan terjadinya karena dalam sebuah perjanjian terdapat banyak syarat dan ketentuan. Kapan perubahan terhadap syarat dan ketentuan dapat dikategorikan sebagai novasi tidak diatur di dalam KUHPerdata.

J Satrio dalam bukunya yang berjudul Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang mengatakan bahwa sehubungan dengan hal ini harus dilihat apakah perubahan syarat dan ketentuan itu menyebabkan identitas perikatannya berubah sehingga ada perikatan baru yang berbeda dengan perikatan awal. Perlu diingat bahwa Pasal 1415 KUHPerdata menyatakan bahwa novasi (baik yang subjektif maupun yang objektif) tidak dapat hanya dikira-kira; kehendak seorang untuk mengadakannya harus terbukti dari isi akta.

Dari penjelasan mengenai novasi di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa pengalihan hak perorangan dalam sebuah kontrak dapat dilakukan dengan cara membuat novasi. Sehingga kontrak pun sebenarnya dapat dipindahtangankan dan seharusnya dapat dijadikan jaminan utang. Permasalahan berikutnya adalah apabila kontrak dijadikan jaminan utang dengan cara pengalihan atau pemindahtanganan kontrak, pengalihan tersebut hanya dapat dilakukan apabila debitur wanprestasi sehingga kreditur berhak melakukan eksekusi atas jaminan utang.

Tentu akan menyulitkan bagi lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan nonbank untuk memerintahkan debitur menandatangani akta novasi saat debitur sudah wanprestasi. Oleh karena itu, sebetulnya akta novasi dapat ditandatangani bersamaan dengan perjanjian pemberian pembiayaan dengan mencantumkan syarat tangguh sesuai yang diatur di dalam Pasal 1253 KUHPerdata.

Dengan demikian novasi baru akan dan hanya terjadi jika debitur wanprestasi. Misalnya, A sebagai Pelaku Ekonomi Kreatif menandatangani Perjanjian Lisensi dengan B dimana A adalah penerima lisensi dan B adalah pemberi lisensi. A mengajukan pembiayaan ke bank C dengan menawarkan perjanjian lisensi antara A dan B sebagai jaminan utang. Jika C, setelah melakukan verifikasi dan penilaian, memutuskan untuk menerima perjanjian lisensi sebagai jaminan maka A dan C dapat menandatangani akta novasi dengan syarat tangguh dimana jika A tidak dapat melunasi kewajibannya terhadap C maka C akan menunjuk pihak lain untuk menggantikan kedudukan A dalam perjanjian lisensi dengan B.

Walaupun sebagaimana telah dijelaskan di atas kontrak mungkin saja dijadikan sebagai jaminan utang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, esensi dari jaminan utang adalah memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditur untuk memperoleh pelunasan bukan memiliki objek jaminan sehingga kreditur harus melakukan penjualan terhadap objek jaminan. Kedua, penjualan melalui lelang eksekusi untuk objek jaminan yang berupa kontraknya tentunya akan lebih sulit daripada penjualan objek jaminan yang berupa benda berwujud seperti tanah dan bangunan, kendaraan, peralatan berat dan lain sebagainya. Ketiga, novasi hanya dapat dilakukan jika mitra perjanjian debitur setuju atas novasi tersebut.

Dalam contoh kasus di atas, tentunya B harus menyetujui adanya novasi dengan syarat tangguh yang diadakan antara A sebagai debitur dengan C sebagai kreditur. Hal ini mengingat pada akhirnya, B lah yang harus berhadapan dengan mitra perjanjian baru ketika A tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada C. Dengan demikian, ada baiknya kontrak hanya dijadikan sebagai jaminan tambahan saja bukan jaminan utama.

*)Theodora Pritadianing Saputri, S.H., LL.M., Dosen Hukum Benda dan Jaminan di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Univeristas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait