Kontrak Karya 14 Perusahaan Migas Belum Dikaji Ulang
Berita

Kontrak Karya 14 Perusahaan Migas Belum Dikaji Ulang

Perlu koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Menteri Keuangan Agus Martowardojo katakan<br> masih selidiki perusahaan migas yang nunggak pajak.<br> Foto: SGP
Menteri Keuangan Agus Martowardojo katakan<br> masih selidiki perusahaan migas yang nunggak pajak.<br> Foto: SGP

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum mengkaji ulang kontrak karya 14 perusahaan minyak dan gas (migas) asing yang menunggak pajak. Hingga kini, Kemenkeu masih menyelidiki perusahaan-perusahaan migas yang menunggak pajak kepada negara sebesar Rp1,6 triliun tersebut.

 

Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, pihaknya masih menyelidiki perusahaan migas yang menunggak pajak sebesar Rp1,6 triliun. Dari hasil penyelidikan, ditemukan adanya kontraktor migas yang sengaja memanfaatkan aturan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang tercantum dalam traktat pajak (tax treaty).

 

Salah satu cara yang dilakukan kontraktor migas tersebut, dengan memindahkan kantor pusat perusahaan ke negara yang sudah meneken tax treaty dengan Indonesia. Oleh sebab itu, banyak pihak mengusulkan perlunya pengkajian ulang atas tax treaty dengan sejumlah negara mitra Indonesia.

 

Di tengah desakan itu, Menkeu mengaku belum bisa melakukan pengkajian ulang terhadap 14 perusahaan migas tersebut. Menurutnya, pihaknya perlu berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Kami masih menunggu undangan koordinasi dari ESDM untuk bisa membahas kontrak yang ada,” ujarnya, Selasa (9/8).

 

Kendati belum mengkaji ulang kontrak karya 14 perusahaan migas, Agus mengaku telah mengkaji ulang 54 tax treaty yang ada dengan mitra bisnis Indonesia. Menurutnya, langkah ini akan menguntungkan negara. Tapi, mantan Dirut Bank Mandiri ini menegaskan hal yang paling penting dalam kasus ini adalah mengkaji ulang kontrak karya yang dimiliki 14 perusahaan migas tersebut. Soalnya, KK itu menjadi dasar hubungan kerjasama sektor migas selama ini.  

 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Ahmad Fuad Rahmany menyatakan akan segera mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada perusahaan minyak dan gas (migas) asing yang bermasalah. Ia menegaskan, keluarnya SKP akan menyelesaikan tunggakan pajak triliunan rupiah yang belum dilunasi perusahaan migas asing maupun lokal.

 

Fuad menyatakan, pihaknya tak salah menghitung kewajiban pajak kontraktor migas asing karena menggunakan dasar perhitungan pajak hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Kita tetap akan mengeluarkan SKP, termasuk untuk kontrak tahun 2004 ke belakang. Ini kan penerimaan negara,” jelasnya.

 

Pemeriksaan BPKP mengacu pada UU No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebelum dinyatakan tidak berlaku karena lahirnya UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas. Yaitu, Pasal 29 UU No 8/1971  yang menyatakan Direktorat Akuntan Negara bertugas mengadakan pemeriksaan terhadap perhitungan tahunan.

 

Hasil audit BPKP manyatakan, terdapat kekurangan pembayaran pajak penghasilan (PPh) migas dari beberapa perusahaan asing migas. BPKP, kata Fuad, menetapkan 14 perusahaan migas mempunyai tunggakan pajak Rp1,6 triliun.

 

Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki hitung-hitungan sendiri terkait hal ini. Peneliti divisi korupsi pelayanan publik dan industri ekstraktif ICW, Firdaus Ilyas menegaskan tunggakan PPh Migas yang dilansir BPKP dari tunggakan perusahaan migas yang sebenarnya. ICW menyebutkan kewajiban pajak yang belum dibayar perusahaan migas mencapai AS$583 juta.

 

Firdaus menguraikan, BPKP melakukan audit industri migas di Indonesia dan kemudian direview Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil review BPK yang dituangkan pada 24 Mei 2011, diketahui ada kewajiban perusahaan migas pada negara.

 

Hingga tahun buku 2008, BPKP menyampaikan hasil pemeriksaan migas ke Ditjen Pajak dengan tunggakan pajak perusahaan migas mencapai AS$176,117 juta. Sedangkan temuan BPKP yang belum disampaikan ke DJP sebesar AS$108,099 juta. Tahun buku 2008, posisi kewajiban (outstanding) pajak perusahaan migas mencapai AS$284,216 juta.

 

Sedangkan tahun berikutnya, terdapat selisih (kurang bayar) antara kewajiban dan setoran dari kontrak bagi hasil sebanyak AS$139,459 juta. Lalu pada tahun 2010 ditemukan lagi selisih kurang bayar mencapai AS$159,330 juta.

 

“Sehingga total tunggakan pajak kurun waktu itu oleh 33 operator minyak dan gas mencapai AS$583 juta,” jelas Firdaus.

 

Jika diurai 10 besar penunggak pajak dimulai dari nilai terbesar dari 33 operator tersebut adalah CNOOC (AS$94,239 juta), lalu Conocophillips Grissik (AS$84,774 juta). Kemudian, Petrochina International Indonesia Ltd Block Jabung (AS$62,949 juta), Mobil Exploration Indonesia Inc-Blok Lepas Pantai Sumatera Utara (AS$59,998 juta). VICO (AS$42,987 juta), ExxonMobil Oil Indonesia Inc (AS$41,763 juta), Premier Oil Area Natuna Sea ‘A’ (AS$38,368 juta), BP West Java Ltd (AS$35,123 juta), Star Energy (AS$17,095 juta), dan PT Pertamina EP (AS$16,921 juta).

 

Firdaus menegaskan, negara tak boleh menyerah untuk menagih tunggakan pajak tersebut. Apalagi kewajiban itu sudah tertera dalam perjanjian kontrak bagi hasil antara operator dan Badan Pengelola (BP) Migas berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Tags: