KontraS: Anggota TNI Pelaku Pengeroyokan di Salatiga Harus Diadili di Pengadilan Umum
Terbaru

KontraS: Anggota TNI Pelaku Pengeroyokan di Salatiga Harus Diadili di Pengadilan Umum

Pasal 3 huruf a TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur prajurit yang melakukan pidana diadili di peradilan umum.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Kasus kekerasan yang dilakukan aparat TNI terhadap warga sipil terjadi lagi. Kali ini menimpa 5 warga di Salatiga, Jawa Tengah. Peristiwa itu dipicu karena senggolan kendaraan pelaku dan korban di jalan. Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyati, mencatat peristiwa kekerasan itu dilakukan 13 prajurit Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di Markas Batalyon Infanteri (Yonif) Mekanis Raider 411 Pandawa. Kekerasan itu mengakibatkan 4 korban luka dan 1 meninggal dunia.

13 anggota TNI itu menurut Fatia menjalani proses hukum melalui mekanisme peradilan militer dan ditahan di Detasemen Polisi Militer Salatiga dengan status tersangka. Dari peristiwa itu, KontraS mencatat sedikitnya 4 hal. Pertama, Pasal 353 ayat (3) KUHP menyatakan “penganiayaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

Fatia menilai unsur perencanaan dalam kasus ini terlihat ketika para terduga pelaku merencanakan tindak kekerasan dengan melibatkan sejumlah prajurit TNI dan membawa paksa para korban ke Asrama Yonif 411 Konstrad Salatiga. Akibat dari tindak kekerasan tersebut, para korban mengalami luka serius sampai ada yang tewas.

“Tetapi dalam penggunaan Pasal Pidana tidak menutup kemungkinan juga untuk dapat menggunakan Pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan dengan ancaman pidana penjara 15 tahun penjara, apabila terdapat kesengajaan dalam merampas nyawa korban,” kat Fatia dikonfirmasi, Senin (03/10/2022).

Kedua, Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 6 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) yang telah diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). pada intinya menyatakan hak untuk hidup merupakan hak yang harus dilindungi dan tidak bisa dikurangi dalam situasi atau kondisi apapun. Ketentuan ini dilanggar dengan terjadinya peristiwa tindak kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya seseorang. KontraS menilai ini merupakan pelanggaran yang fundamental terhadap HAM.

Ketiga, Fatia mengingatkan pasal 3 huruf a TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI pada intinya menegaskan bahwa prajurit TNI harus tunduk pada kekuasaan peradilan umum apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. “Sudah seharusnya pada peristiwa kekerasan ini, para terduga pelaku kekerasan harus diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum bukan peradilan militer,” tegasnya.

Keempat, kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI bukan hanya kali ini saja terjadi. Dari data pemantauan Fatia menghitung, kasus kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI dalam periode bulan Januari-Agustus tahun 2022 berjumlah 40 kasus.

Menurut Fatia, peristiwa kekerasan itu menunjukan jelas adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM, terutama hak untuk hidup. Kasus ini harus diselesaikan secara tuntas. Proses pengungkapan peristiwa perlu melibatkan lembaga pengawas seperti Komnas HAM, guna menjamin independensi dalam mengungkap fakta.

Tak ketinggalan Fatia mendesak juga mendesak para terduga pelaku diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum. “Mengingat Pasal 3 huruf a TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI mengharuskan para prajurit diadili di peradilan umum apabila melakukan pelanggaran hukum pidana,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait