Korupsi Yudisial Begitu Mengakar di Indonesia Tetapi Tidak Berhasil Diberantas
Kolom

Korupsi Yudisial Begitu Mengakar di Indonesia Tetapi Tidak Berhasil Diberantas

Hakim tidak boleh terjebak dalam beberapa larangan, seperti kolusi dengan para pihak dalam suatu perkara yang diperiksanya, apalagi menerima bingkisan atau pemberian atau janji dari pihak yang berperkara.

Bacaan 5 Menit

Judicial Corruption itu dapat ditanggulangi kalau saja semua hakim memberi keputusan berdasarkan judicial discretion yaitu dengan bertindak independen dan imparsial. Sekali lagi International Commission of Jurists (ICJ) dalam sebuah paper yang berjudul “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” ditulis oleh Hakim Agung S. Peete Lesotho, Sun International Maseru, July 29, 2010 menyatakan bahwa dari seluruh jenis-jenis korupsi, judicial corruption merupakan kategori yang paling berbahaya (insidious) dan menjijikkan (odious), sebagaimana dinyatakan berikut (International Commision of Jurists: 2010):

“...dari semua jenis korupsi, korupsi yudisial mungkin yang paling berbahaya dan menjijikkan karena jenis korupsi ini menggerogoti dan menghancurkan pilar terpenting dari pemerintahan yang demokratis. Banyak yang telah ditulis tentang topik korupsi, tetapi korupsi yudisial menempati posisi yang paling dikecam. Korupsi memalsukan, menyumbat, mencemari, memutarbalikkan dan mendistorsi penyaluran keadilan.

Sebenarnya kode etik secara keseluruhan baik itu hakim, jaksa dan polisi sudah dilatih untuk kode etik nya agar mereka profesional dalam menjalankan tugasnya dan wewenangnya dengan demikian mereka sudah dibekali perilaku yang memadai dan dibekali dengan garis besar dari profesi mereka. Hakim harus sadar bahwa mereka diharapkan para pencari keadilan untuk memutus berdasarkan keadilan yang ada di dalam masyarakat, oleh karena itu seorang hakim diharapkan membawakan kode etik profesinya dengan sungguh-sungguh dan tidak boleh menerima pemberian atau uang suap dari para pihak dalam perkara. Untuk Anggota Kepolisian, anggotanya juga perlu memperhatikan Kode Etik Profesi Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Kode Etik Profesi Kepolisian yang berbunyi sebagai berikut:

“Anggota Kepolisian Republik Indonesia harus selalu menghindari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya...”

Sedangkan untuk Jaksa, dalam keputusan Jaksa Agung No.5 Kep-052/JA/S/1979 dari Doktrin Tri Krama Adhyaksa disebutkan bahwa:

Bahwa seorang jaksa dilarang menerima atau mengharapkan pemberian dan tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dan pihak lain, termasuk membuat fakta hukum dalam menangani suatu perkara.

Demikian sebab-sebab korupsi yudisial ini disusun agar pemerintah dan masyarakat Indonesia sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi, terutama korupsi yudisial yang dilakukan orang-orang yang paham hukum tetapi agar bisa hidup mewah dan kaya mereka tidak segan-segan korupsi yang menyengsarakan masyarakat dan lembaga-lembaga negara.

*)Prof. Dr. Frans H. Winarta adalah advokat di Jakarta dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait