KPA Usul 7 Hal untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Kelurahan Gurilla
Terbaru

KPA Usul 7 Hal untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Kelurahan Gurilla

Dari 21 letusan konflik agraria akibat operasi PTPN di Kampung Baru, Gurilla, Pematangsiantar tahun 2022 sebanyak 15 orang menjadi korban penganiayaan dimana 8 diantaranya perempuan. Kemudian 28 orang mengalami kriminalisasi dimana 4 perempuan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Foto: Istimewa

Konflik agraria yang bersifat struktural tak hanya terjadi antara masyarakat dengan badan usaha swasta, tapi juga milik negara (BUMN). Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai konflik agraria yang melibatkan BUMN cenderung lebih sulit untuk dituntaskan. Bahkan pendekatan represif kerap dilakukan dalam menghadapi warga dan konflik agraria. Hal itu dialami antara lain oleh warga Kampung Baru, Gurilla, Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Peristiwa kekerasan terbaru yang dialami warga terjadi Sabtu (21/1/2023) lalu dimana 3 rumah warga dirusak ratusan pihak keamanan PTPN III Unit Kebun Bangun dengan menggunakan alat berat.

Dewi mencatat konflik agraria yang terjadi di Kampung Baru adalah salah satu konflik yang dipicu akibat klaim penguasaan aset tanah BUMN yang tumpang tindih dengan tanah garapan dan perkampungan rakyat. “Klaim atas tanah oleh perusahaan plat merah tersebut, utamanya PTPN tidak hanya menyebabkan letusan konflik di berbagai pelosok, tetapi menyebabkan juga kekerasan terhadap rakyat,” kata Dewi Kartika saat dikonfirmasi, Selasa (24/1/2023).

Tren letusan konflik agraria di wilayah operasi PTPN menurut Dewi cenderung meningkat. Tahun 2022, KPA mencatat terjadi 212 letusan konflik agraria di berbagai sektor, dimana 21 kasusnya adalah konflik agraria masyarakat dengan PTPN. Konflik agraria itu melibatkan 8 dari 14 PTPN yang ada, salah satunya PTPN III.

Menurut Dewi, dalam konflik agraria yang melibatkan PTPN, pendekatan represif menjadi cara yang kerap digunakan untuk menghadapi warga dan menangani konflik. Bahkan tahun 2022, pendekatan itu diperkuat PTPN yang secara khusus melakukan nota kesepahaman dengan Polda di masing-masing provinsi. Kesepakatan ini bertujuan untuk menangani konflik agraria dengan dalih pengawasan dan penegakan hukum.

Kerja sama seperti itu menurut Dewi tidak menuntaskan konflik, justru PTPN bekerja sama dengan lembaga pemerintah yang paling buruk dalam menangani konflik agraria. Dewi menekankan dalam konflik agraria tak sedikit perempuan dan anak menjadi korban. Misalnya, kekerasan dan intimidasi yang menimpa warga di Kelurahan Gurilla menyebabkan banyak korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Ada 8 perempuan dan 3 rohaniawan mendapat kekerasan dari aparat keamanan perusahaan. Anak-anak di Kelurahan Gurilla juga mengalami trauma yang sangat berat,” beber Dewi.

Ironisnya, penyelesaian terhadap konflik agararia yang terjadi selama ini macet. Menurut Dewi salah satu sebab yakni absennya peta jalan penyelesaian masalah konflik agraria pada PTPN dan diskriminasi hukum yang menguntungkan perusahaan telah menyebabkan konflik agraria terakumulasi tanpa solusi.

Sekalipun PTPN menelantarkan tanah, bahkan tidak memiliki dasar hukum agraria kuat sebab HGU-nya sudah daluwarsa, tidak pula memberikan banyak keuntungan kepada negara, tapi yang terjadi adalah kemacetan penyelesaian konflik agraria. “Penyelesaian itu seharusnya dapat diselesaikan dengan mudah. Jika saja ada political will yang kuat dan konkret,” tegas Dewi.

Guna menyelesaikan konflik agraria, terutama di Kelurahan Gurilla, Dewi mengusulkan 7 hal. Pertama, Presiden RI segera melakukan rapat terbatas memanggil Menteri BUMN, menegur pengabaian penyelesaian yang berulang dan memerintahkan penyelesaian konflik secara serius dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria. Kedua, tarik alat berat dan mobilisasi aparat keamanan (swasta atau negara) dari perkampungan dan tanah masyarakat Kampung Baru, Kelurahan Gurila, Kota Pematangsiantar.

Ketiga, hentikan cara-cara represif, intimidatif dan diskriminatif hak dalam penanganan konflik agraria PTPN di lapangan. Keempat, Komnas HAM RI dan Komnas Perempuan agar memberikan peringatan keras kepada Direksi PTPN III/BUMN atas pelanggaran HAM dan kekerasan yang dialami perempuan-anak-anak yang terjadi di lapangan sejak 2022 sampai 2023.

Kelima, Gubernur dan Walikota wajib melindungi dan memprioritaskan hak atas tanah bagi petani dan warga Kampung Baru sesuai tugas dan kewenangannya selaku penanggung jawab Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Keenam, Kementerian ATR/BPN RI segera mengumumkan kepada publik dan para pihak mengenai kejelasan status hak atas tanah (HGU) PTPN III, karena tidak memiliki dasar hukum sesuai Surat BPN RI No.3000-310.3-D per 19 September 2007 yang menyatakan HGU PTPN tersebut tidak lagi diperpanjang – untuk selanjutnya menetapkan tanah tersebut sebagai Obyek Reforma Agraria untuk diredistribusikan kepada masyarakat yang berhak.

Ketujuh, menyikapi seluruh konflik agraria terkait PTPN/Perhutani, Presiden RI perlu mengarahkan kepemimpinannya, memanggil seluruh jajaran kabinet terkait untuk duduk bersama membuat kebijakan hukum yang mengikat. Sekaligus menyiapkan Roadmap Penyelesaian Konflik Agraria BUMN (klaim tanah/hutan negara) yang membuat terobosan hukum dan berorientasi pada pengeluaran desa-desa, tanah produktif masyarakat, dan wilayah adat dari klaim-klaim aset negara.

Tags:

Berita Terkait