KPK Minta Pembahasan Revisi UU KPK Ditunda
Berita

KPK Minta Pembahasan Revisi UU KPK Ditunda

KPK akan melakukan kajian pasal mana saja yang layak dilakukan revisi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki. Foto: RES
Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki. Foto: RES
Revisi Undang-Undang (RUU) No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah diusulkan Menkumham untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Meski  revisi terbatas, namun lembaga antirasuah itu meminta agar dilakukan penundaan.

“Revisi UU KPK kami belum pernah diajak bicara untuk merevisi UU itu meski diusulkan oleh Kemenkeumham atau Komisi III. Karena itu kami minta ditunda,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki dalam rapat kerja dengan Komisi III di Gedung DPR, Kamis (18/6).

Permintaan penundaan bukan tanpa dasar. Pasalnya KPK mesti melakukan kajian harmonisasi. Makanya, KPK telah menugaskan biro hukum untuk melakukan kajian pasal apa saja yang layak dilakukan revisi. Misalnya, perlunya ketegasan terkait pasal yang mengatur penyidik. Soalnya, sejak gelombang praperadilan menghantam KPK persoalan penyidikan KPK kerap dipersoalkan.

“Kalau Komisi III berharap kami bikin kajian, kami siap laukan, bulan depan akan kami paparkan,” ujar mantan anggota BPK itu.

Mantan polisi jendral bintang dua itu mengatakan terdapat sejumlah UU yang mesti dilakukan revisi untuk kemudian dilakukan harmonisasi. Misalnya, UU No.1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana, UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Selain itu, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. “UU apapun direvisi saya setuju, tapi saya sarankan (revisi UU KPK-red) ditunda menunggu sinkronisasi dan harmonisasi UU selesai,” katanya.

Plt Wakil Ketua Indriyanto Senoadji menambahkan, idealnya dalam melakukan pembahasan RUU KPK semestinya pembahasan RKUHP dan RKUHAP dilakukan secara bersamaan. Pasalnya, hukum formil dan materil bergandengan dan tidak terpisahkan. Apalagi, dikaitkan dengan integrated justice system supaya tidak terjadi benturan dengan UU lembaga penegak hukum perlu dilakukan harmonisasi.

UU KPK memang lebih banyak terkait dengan hukum acara KPK yang bersifat lex spesialis. Misalnya, aturan penyadapan telah diatur dalam RKUHAP. Sementara KPK memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penyadapan. Sayangnya, jika tidak dilakukan harmonisasi akan berbeda dalam pelaksanaanya.

Itu sebabnya, Indriyanto menyarankan agar pembahasan RUU KPK dilakukan secara bersamaan dengan revisi sejumlah UU lembaga penagak hukum, RKUHP dan RKUHAP. “Kalau mau diajukan dalam Prolegnas, lebih babik jadi satu dengan yang lain jadi satu tidak terpisah, agar tidak terjadi benturan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Indriyanto menjelaskan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU 30/2002 menjadi roh lembaga anti rasuah dalam melakukan penanganan perkara tindak pidana korupsi.  Menurutnya, jika Pasal 44 yang dipersoalkan dalam praperadilan kemudian dikabulkan hakim, sama halnya meruntuhkan Pasal 12 UU KPK.

“Karena itu kalau merevisi membahas  masalah penyadapan ke tahapan proyustisia ini sama halnya melemahkan KPK dan meniadakan Pasal 12. Kemudian kalau  RUU KUHP dibicaraan tadi terpisah dengan RUU lainnya, saya jamin delgitimasi kewenangan KPK akan bisa terjadi,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman mengatakan, KPK telah menyetujui melakukan revisi terhadap UU 30/2002. Hanya saja revisi yang diinginkan tidak bersifat menyeluruh, melainkan terbatas. Dengan kata lain, hanya pasal-pasal tertentu yang dinilai lemah dan perlu dilakukan perubahan dengan penguatan kelembagaan dan pemberantasan korupsi.

Setidaknya, Benny menyebut empat poin  yang diinginkan revisi oleh KPK. Pertama, KPK menginginkan agar KPK ditegaskan menjadi penegak hukum yang bersifat lex spesialis. Kedua, KPK meminta agar UU yang mengatur kewenanganya  dalam pengangkatan penyelidik dan penyidik. Ketiga, menegaskan keberadaan dan kewenangan komite pengawasan. Keempat, penataan kembali organisasi kelembagaan KPK. Empat point itulah yang menjadi catatan penting KPK dalam revisi UU KPK

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan revisi UU KPK sebaiknya dilakukan setelah adanya proses singkronisasi dan harmonisasi sejumlah UU. Terlebih, pembahasan RUU KUHAP idealnya dilakukan pembahasan terlebih dahulu. Pasalnya, UU KPK lebih banyak mengatur hukum acara dan kewenangan lembaga anti korupsi itu.

“Catatan agar revisi UU KPK dilakukan setelah dilakukan singkronisasi UU yang lain selesai,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait