Kriteria Disabilitas yang Cocok Berkarier di Law Firm
Terbaru

Kriteria Disabilitas yang Cocok Berkarier di Law Firm

Bukan disabilitas yang sering menjadi masalah, tetapi reaksi atau prasangka dari lingkungan dan masyarakat. Poin intinya adalah mampu menguasai lawyering skills.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit

Bono Daru Adji, Managing Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) punya keyakinan yang sama. Ia menyatakan AHP punya komitmen khusus untuk memenuhi mandat UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 53 ayat 2 UU Penyandang Disabilitas menyebut Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

“Kami sangat terbuka merekrut difabel sebagai lawyer. Hanya saja sampai saat ini talenta yang kami pekerjakan baru cocok untuk personel tim HR dan tim General Affairs,” kata Bono kepada Hukumonline. Firma hukum terbesar Indonesia itu belum pernah memiliki lawyer atau paralegal yang difabel meski pernah melakukan rekrutmen khusus untuk mencari pegawai difabel.

Namun, Bono mengaku ada persoalan ekspektasi klien yang mungkin tidak bisa sepenuhnya dipenuhi difabel saat berkarier sebagai lawyer.

“Selama keterbatasan disabilitas bisa diatasi dengan alat bantu teknologi saat ini tentu tidak ada persoalan. Kendala lain mungkin soal pemenuhan ekspektasi kecepatan kerja dari klien sebagai pengguna jasa, kalaupun itu bisa diatasi tentu tidak ada halangan sama sekali,” Bono melanjutkan.

Kompetensi Berkarier di Law Firm

“Apabila seorang almarhum Stephen Hawking saja bisa berguna dan prestasi, lawyer yang difabel mestinya juga bisa. Sering juga bukan disabilitas yang menjadi masalah, tetapi reaksi atau prasangka dari lingkungan dan masyarakat,” kata Kiki. Baginya, selama difabel mampu menguasai lawyering skills, maka bisa cocok saja berkarier di law firm.

Penguasaan lawyering skills itulah yang menjadi kriteria profesional penentu cocok atau tidak menjadi lawyer. Kiki menyebut enam yang utama yakni problem solving (memecahkan masalah), convincing (meyakinkan), communication (komunikasi), negotiation (negosiasi), dispute resolution (penyelesaian sengketa), dan legal risk assessment (penilaian risiko hukum). Oleh karena itu, ia menyebut bentuk keterbatasan apa saja yang masih berpeluang cocok menjalani karier di law firm sangat case by case.

Kiki menyebut berbagai skills itu semuanya nonfisik, sehingga keterbatasan fisik harusnya tidak jadi penghalang, terlebih lagi jika ada alat bantunya. Ia melihat kekurangan pada difabel berarti juga ada potensi kelebihan dibanding kemampuan lawyer lain tanpa disabilitas. “Bagi lawyers secara umum masalah utama untuk sukses bukan apakah ada kekurangan (fisik) atau disabilitas, tetapi sebaliknya apakah ada kelebihan dibandingkan dengan lawyers lain,” katanya.

Erlangga Gaffar, Vice President dari Indonesian Corporate Counsel Association (ICCA) menambahkan pengalamannya bekerja sama dengan rekan in-house lawyer dari negara lain yang difabel. Semua pekerjaan berjalan lancar secara daring. Tidak ada yang terasa berbeda sampai mereka saling bertemu.

“Ketika bertemu secara fisik, saya baru tahu dia ternyata menggunakan kursi roda,” kata in-house lawyer yang pernah lama berkarier di law firm ini. “Saya juga yakin akan tiba masanya di mana rekan yang memiliki keterbatasan visual dan pendengaran juga bisa berkiprah lebih dari sekarang sebagai lawyer atau in-house legal counsel,” Erlangga menambahkan.

Tags:

Berita Terkait