Menurutnya, sepanjang kritikan atau ungkapan ekspresi yang disampaikan masyarakat memuat kebenaran demi kepentingan umum, pemegang kekuasaan umum akan berpikir ulang menempuh jalur hukum.
Terpisah, Anggota Komisi III DPR Taufik Basari menilai pasal tentang penghinaan terhadap lembaga negara dan kekuasaan umum dalam RKUHP harus dibatasi. Tanpa dibatasi ketat, malah berpotensi menjadi persoalan. Ia pun mengusulkan agar kata “penghinaan” dalam Pasal 347 ayat (1) dan 348 ayat (1) diubah menjadi kata “fitnah”, tuduhan yang diketahui tidak benar.
Dengan demikian, pembuktiannya dalam proses penegakan hukum dapat dilakukan dengan ukuran yang obyektif. Sebaliknya, bila masih menggunakan kata “penghinaan” malah parameternya menjadi subyektif aparat penegak hukum. “Sehingga dapat disalahgunakan untuk kepentingan penguasa yang anti kritik,” bebernya.
Politisi Partai Nasional Demokrat itu mewanti-wanti agar pasal-pasal dalam RKUHP yang berpotensi membahayakan kehidupan demokrasi atau sebagai alat bagi kekuasaan menjadi otoriter dan anti demokrasi dikoreksi terlebih dahulu. Bila pasal-pasal tersebut tak dapat dihapus dari draf RKUHP, maka masukan dari publik dan dirinya dapat diakomodir.
“Saya harap dalam pembahasan tanggal 21 November nanti pemerintah dan DPR dapat mengakomodasi masukan yang saya sampaikan ini,” katanya.