​​​​​​​Kritik dan Masukan Pemangku Kepentingan Terhadap Praktik Outsourcing
Outsourcing Berkeadilan

​​​​​​​Kritik dan Masukan Pemangku Kepentingan Terhadap Praktik Outsourcing

​​​​​​​Dibutuhkan regulasi yang memberi kepastian dan perlindungan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Keempat, pemerintah harus tegas melakukan pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan yang melanggar hukum ketenagakerjaan. Kelima, mengganti UU Ketenagakerjaan dengan UU baru yang isinya tidak merugikan pekerja dan pengusaha. Keenam, memberikan tunjangan pengangguran. “Jika negara sudah turun tangan dan memenuhi kebutuhan tersebut pasti buruh tidak akan masalah akan statusnya sebagai pekerja outsourcing atau bukan,” tegasnya.

 

Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, menjelaskan UU Ketenagakerjaan tidak mengenal istilah outsourcing, tapi penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 64, 65, dan 66 UU Ketenagakerjaan. Penyerahan sebagian pekerjaan itu bisa dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja. Jenis pekerjaan yang bisa diserahkan kepada perusahaan outsourcing itu sifatnya harus penunjang. Untuk mengetahui suatu jenis pekerjaan apakah penunjang atau inti harus mengacu pada alur proses produksi perusahaan.

 

Putusan MK No.27/PUU-IX/2011 memberi ketegasan dan kepastian perlindungan bagi pekerja outsourcing, baik pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja. Intinya, hubungan kerja tidak terputus walau perusahaan outsourcing berganti. “Karena ada pekerjaan penunjang itu yang sifatnya berlangsung terus-menerus,” paparnya.

 

PKWT dan Outsourcing

Oleh karenanya Sahat mengingatkan mekanisme outsourcing ini berbeda dengan PKWT. Buruh PKWT ditujukan untuk mengerjakan pekerjaan yang sifatnya sementara atau dalam jangka waktu tertentu bisa selesai. Tapi outsourcing penyedia jasa pekerja sifat pekerjaannya belum tentu sementara misalnya cleaning service, pekerjaannya akan ada terus menerus. Itulah maksud putusan MK No.27/PUU-IX/2011, sekalipun perusahaan outsourcing berganti tapi tidak membuat hubungan kerja putus.

 

Sedangkan pekerja berstatus PKWT menjalin hubungan kerja secara langsung dengan perusahaan pemberi kerja. Sementara pekerja outsourcing hubungan kerjanya dengan perusahaan outsourcing. Hubungan perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa atau perusahaan pemberi pekerjaan yakni menjalankan bisnis terkait sebagian pelaksanaan pekerjaan yang telah diserahkan.

 

Untuk status hubungan kerja antara buruh outsourcing dengan perusahaan outsourcing menurut Sahat bisa berbentuk PKWT. Tapi ketika terjadi pergantian perusahaan outsourcing pekerja tidak bisa diputus hubungan kerjanya karena kontrak kerja terus berlanjut dengan perusahaan outsourcing yang baru. Artinya, pekerja outsourcing itu berstatus PKWTT. “Inilah perlindungan terhadap keberlanjutan kerja (TUPE) bagi pekerja outsourcing sebagaimana putusan MK itu,” ujarnya.

 

Sahat mengingatkan, pada saat perusahaan pemberi pekerjaan ingin melelang sebagian pekerjaannya yang di outsourcing, harus memasukan klausul yang mengatur perusahaan outsourcing pemenang lelang bersedia menerima pekerja dengan segala haknya. Hal ini sudah diatur lebih lanjut dalam Permenaker Outsourcing.

 

Adanya pembatasan jenis pekerjaan dan usaha yang bisa di outsourcing melalui penyedia jasa pekerja menurut Sahat ditujukan guna menegaskan dan memberi kepastian bahwa yang dibolehkan hanya 5 jenis usaha. Selama ini sering terjadi perbedaan persepsi dalam praktik outsourcing penyedia jasa pekerja, sehingga pemerintah merasa perlu untuk menegaskannya dalam bentuk regulasi. “Untuk jenis usaha atau pekerjaan di luar 5 jenis itu bisa menggunakan mekanisme pemborongan pekerjaan,” jelasnya.

 

Pembenahan Praktik Outsourcing

Sahat menegaskan praktik outsourcing yang ada di Indonesia berbeda dengan negara maju seperti Jepang dan Eropa. Di berbagai negara maju itu pasar tenaga kerja didominasi perusahaan outsourcing karena mereka memiliki tenaga kerja dengan keterampilan yang mumpuni. Oleh karenanya pemenuhan hak dan standar buruh outsourcing di negara tersebut jauh lebih baik.

 

“Itulah sebabnya praktik outsourcing di negara maju tidak mengalami kendala. Dengan kondisi itu posisi perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan outsourcing menjadi setara,” kata mantan Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan ini.

 

Berbeda di Indonesia, perusahaan outsourcing biasanya mengikuti keinginan perusahaan pemberi pekerjaan. Menurut Sahat ini terjadi karena perusahaan outsourcing belum memiliki tenaga kerja dengan keterampilan yang memadai. Idealnya seluruh tenaga kerja yang dimiliki perusahaan outsourcing memiliki keterampilan yang cukup dan mengantongi sertifikasi.

 

Saat seluruh tenaga kerja yang direkrut perusahaan outsourcing berketerampilan tinggi dan mengantongi sertifikasi, Sahat yakin praktik outsourcing di Indonesia akan berjalan lebih baik. Sehingga tidak ada lagi persoalan seperti upah rendah atau tidak mematuhi peraturan. “Jika itu terwujud bisa jadi tenaga kerja zaman now lebih memilih berstatus outsourcing daripada pegawai tetap,” pungkasnya.

 

(Baca juga: Raih Gelar Doktor Hukum dengan Cumlaude, Advokat Ike Farida Gagas Outsourcing yang Berkeadilan)

 

Pembenahan pengaturan dan praktik outsourcing itu pula yang dikumandangkan Ike Farida, seorang advokat. Saat mempertahankan disertasinya di Universitas Indonesia Desember 2017, Ike mengusung tema outsourcing yang berkeadilan. Menurut dia, Indonesia membutuhkan satu Undang-Undang tersendiri yang mengatur outsourcing agar payung hukumnya lebih kuat, dan pengaturannya bisa lebih  menjamin keadilan bagi para pemangku kepentingan.

Tags:

Berita Terkait