LBH Banda Aceh: Keppres No.17 Tahun 2022 Preseden Buruk Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat
Terbaru

LBH Banda Aceh: Keppres No.17 Tahun 2022 Preseden Buruk Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat

Tugas dan fungsi Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu minim upaya kepastian hukum, sehingga berpotensi melanggengkan impunitas.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Baginya, menggunakan hasil kerja Komnas HAM untuk penyelesaian kasus secara non-yudisial justru mendelegitimasi Komnas HAM secara kelembagaan, fungsi, sekaligus cita-cita negara untuk menjamin pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM seluruh warga negara. “Ini merupakan jalan keluar bagi Presiden untuk lari dari tanggung jawab dengan menjadikan ‘pemulihan korban’ sebagai alasan belaka,” ujar Syahrul.

Ia mengingatkan pemulihan korban dan mengadili pelaku adalah dua hal yang berbeda. Terobosan untuk melakukan pemulihan bagi korban tanpa menunggu adanya putusan pengadilan tentu juga memiliki nilai baik mengingat korban telah lama menunggu intervensi oleh negara. Hal ini dapat dilakukan oleh negara tanpa harus menggunakan embel-embel “penyelesaian kasus” yang pada akhirnya akan menjadi preseden buruk dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

“Seolah-olah negara bebas untuk melanggar HAM warga negara, setelah itu tinggal bayar,” sindirnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Ifdhal Kasim, mengatakan pentingnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu untuk masa depan yang lebih baik agar kasus serupa tidak terulang. HAM internasional mengatur ada tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM berat.

Pertama, kewajiban negara untuk merawat ingatan (duty to remember). Kewajiban itu melahirkan hak bagi korban untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran. Kedua, negara bertanggung jawab mengadili pihak yang bersalah dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Kewajiban itu menghasilkan hak korban untuk mendapat keadilan dimana yang bersalah harus diadili di pengadilan. Ketiga, kewajiban negara untuk memberikan pemulihan, sehingga timbul hak bagi korban untuk mendapat kompensasi, reparasi, restitusi dan lainnya.

“Inilah yang menjadi kerangka normatifnya kenapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu harus diselesaikan karena ada tanggung jawab negara untuk menyelesaikan,” kata Ifdhal dalam diskusi berjudul Keppres sebagai Upaya Percepatan Pemenuhan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Kamis (20/10/2022) lalu

Untuk mewujudkan kewajiban negara itu, terutama dalam memberikan hak atas kebenaran, Ifdhal mengatakan salah satu instrumen penting yang disahkan Dewan HAM PBB yakni prinsip melawan impunitas. Prinsip itu mendorong negara untuk mengambil langkah yang sesuai dan patut untuk memberikan hak atas kebenaran.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait