LBH Jakarta Minta Presiden Cabut UU Cipta Kerja Lewat Perppu
Setahun UU Cipta Kerja

LBH Jakarta Minta Presiden Cabut UU Cipta Kerja Lewat Perppu

UU Cipta Kerja ini dinilai inkonstitusional baik dalam prosedur penyusunan maupun substansi pengaturannya yang mengakibatkan kondisi perlindungan hukum dan kesejahteraan semakin buruk.

Ady Thea DA
Bacaan 6 Menit

Selain masalah zonasi, Arif melihat masyarakat Pulau Pari juga terancam penghidupannya dengan rencana pembangunan pulau komersil di wilayah tangkap nelayan tradisional. UU Cipta Kerja membatasi partisipasi masyarakat serta upaya keberatan terhadap Amdal yang disusun pengembang, sehingga menyulitkan warga mempertahankan ruang penghidupannya dari kepentingan investasi.

Masalah itu juga terjadi di wilayah daratan. Ditetapkannya berbagai proyek pembangunan infrastruktur sebagai proyek strategis nasional memunculkan berbagai imbas pengusiran paksa (penggusuran) dengan dalih kepentingan umum. Pasal 123 UU Cipta Kerja dan PP No.19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum merevisi ketentuan UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

“Beberapa ketentuan bersifat percepatan pembebasan tanah dan memudahkan instansi yang membutuhkan tanah. Namun di satu sisi mempersempit ruang gerak masyarakat terdampak untuk mempertahankan ruang ataupun sekedar menuntut kompensasi yang layak,” bebernya.

Kedua, UU Cipta Kerja memperburuk perlindungan hak-hak pekerja/buruh. Arif mencatat berbagai ketentuan yang memberi kemudahan kepada investor tidak dibarengi dengan perbaikan perlindungan hak buruh/pekerja. UU Cipta Kerja justru melepaskan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan terhadap buruh dalam upaya menciptakan kedudukan yang setara dengan pengusaha.

Pelepasan tanggung jawab tersebut tercermin dari ketentuan Pasal 81 UU Cipta Kerja dan Pasal 25 PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang mengubah acuan penetapan upah minimum. Sebelumnya, penetapan upah minimum berdasarkan KHL dan produktivitas/pertumbuhan ekonomi, tapi sekarang berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi. Kondisi ekonomi itu meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.

“Problem dari pengaturan itu muncul saat ini ketika berbagai Konfederasi Serikat Buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2022 sebesar 10 persen dan mengabaikan ketentuan UU Cipta Kerja,” ujar Arif.

Selain itu, PP No.35 Tahun 2021 tentang PKWT-PHK menciptakan fleksibilitas aturan kerja yang eksploitatif. Misalnya, sistem kerja kontrak yang tidak memberikan jaminan atas pekerjaan yang layak, alih daya, dan waktu kerja lembur yang diperpanjang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait