Legislator Jelaskan Rasio Legis Larangan Politik Dinasti
Berita

Legislator Jelaskan Rasio Legis Larangan Politik Dinasti

Undang-Undang sebelumnya tak mengatur. Dianggap langkah fair dan progresif.

ASH
Bacaan 2 Menit
DPR yang diwakili oleh anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto saat menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Pilkada, Rabu (22/4). Foto: Humas MK
DPR yang diwakili oleh anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto saat menyampaikan keterangannya dalam sidang uji materi UU Pilkada, Rabu (22/4). Foto: Humas MK
Selaku pembentuk Undang-Undang, Pemerintah dan DPR menjelaskan rasio legis pengaturan larangan politik dinasti dalam UU No. 8 Tahun 2015. Penjelasan ratio legis ini merupakan jawaban legislator atas permohonan pengujian UU tersebut.

Pemerintah menganggap ketentuan politik pembatasan konflik kepentingan dengan petahana (politik dinasti) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) telah sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sebab, pembatasan konflik kepentingan itu bentuk penghormatan hak orang lain agar menjamin dan memberi peluang konstetasi secara fair (jujur) dalam pilkada.

“Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota untuk membuka peluang pihak lain ikut berkompetisi secara fair tanpa diganggu keluarga petahana,” ujar Staf Ahli Mendagri, Prof Zudan Arif Fakrulloh saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang uji materi UU Pilkada di gedung MK, Rabu (22/4).

Zudan melanjutkan pembatasan ini perlu agar posisi para pihak yang berkontestasi equal. Selama ini keluarga petahana umumnya dapat mengakses sumber daya negara dan swasta yang mendukung pemenangan dinasti mereka. “Makanya, aturan itu dibuat setelah masa jeda selama satu periode jabatan berikutnya, keluarga petahana diharapkan bertarung  equal karena sudah tidak lagi mengandalkan lagi sumber daya dari petahana,” tuturnya.

Prof. Zudan mengungkapkan praktik politik dinasti yang terjadi di sejumlah daerah mendapatkan resistensi masyarakat berdasarkan hasil survei IFES dan Lembaga Survei Indonesia pada Februari 2014. Intinya, mayoritas responden menyatakan praktik politik dinasti berdampak negatif bagi masyarakat. “Rata-rata mereka beralasan dinasti politik cenderung membuat marak korupsi, tidak demokratis, dan lebih mementingkan politik daripada kepentingan rakyat,” paparnya.

Karena itu, salah satu upaya yang dianggap efektif saat ini diadopsinya pembatasan pihak-pihak yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam beberapa tahun terakhir  banyak  terjadi di sejumlah wilayah, seperti Lampung, Sumatera, dan Sulawesi Utara, kepala daerahnya memiliki hubungan kekeluargaan. Dalam perspektif struktur pemerintahan di Indonesia, hubungan gubernur dan bupati/ walikota itu sangat erat.

“Bapaknya menjadi gubernur, anaknya menjadi bupati/walikota, suaminya maju menjadi bupati dan istrinya maju menjadi walikota, atau saudaranya di kabupaten A dan B, kakaknya menjadi gubernur,” bebernya.

Pemerintah menyadari bahwa memutus mata rantai dinasti politik, koruptif, dan tindakan penyalahgunaan wewenang bukanlah hal mudah. Meski begitu, setidaknya pembatasan ini dapat mengurangi keinginan petahana untuk melakukan tindakan-tindakan yang tak sesuai dengan kaidah dalam tata pemerintahan dan demokrasi lantaran akses peluang itu telah ditutup.

Terkait Pasal 7 huruf s UU Pilkada, Zudan menyadari adanya kedudukan dan fungsi yang berbeda antara jabatan anggota legislatif (jabatan politik) dengan PNS, TNI, Polri (pelaksana kebijkan publik). Bagaimanapun, PNS, TNI, dan Polri yang akan maju sebagai kepala daerah wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis agar bebas dari kepentingan politik.

Namun begitu, konteks ini aspek kesetaraan dan keadilan perlu untuk dipertimbangkan kembali oleh MK agar aspek fairness dalam penyelenggaran pilkada dapat terwujud. “Terhadap persoalan ini, kami menyerahkan sepenuhnya kepada MK apakah pasal itu dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional bersyarat,” katanya.      

Langkah progresif
Dalam keterangannya di persidangan, DPR juga menganggap aturan yang dipersoalkan untuk membatasi terjadinya dinasti politik sebagai langkah progresif dan positif yang tidak ada dalam UU sebelumnya. Dinasti politik ini merupakan strategi politik yang digunakan untuk menjaga kekuasaannya dengan mewariskan kekuasaannya pada orang lain yang masih menjadi keluarganya.

“Lagipula, aturan tersebut tidak menutup hak secara keseluruhan bagi kerabat petahana, tetapi diberikan jeda satu periode pemerintahan. Sehingga pada pemerintahan berikutnya kerabat petahana bisa mencalonkan diri dalam pilkada,” ujar anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat.

Menurutnya, pembuat UU menganggap memberikan jeda satu periode agar kerabat petahana yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah tidak mendapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung dari petahana. Karena itu, DPR memandang kedua pasal tersebut telah sesuai dengan prinsip hukum dan keadilan universal.

“Tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan sendiri. Lalu, seseorang juga tidak boleh dirugikan atas penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan orang lain (nemo commonfum capere potest de injuria sua propria)”.

Sebelumnya, permohonan pengujianPasal 7 huruf r berikut penjelasan dan Pasal 7 huruf s UU Pilkada terkait syarat pemberitahuan anggota legislatif kepada pimpinannnya dan syarat larangan bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana dipersoalkan ke MK. Pemohonnya, Adnan Purichta Ichsan (putra Bupati Gowa Sulsel, Ichsan Yasin Limpo), Aji Sumarno (menantu Bupati Selayar SulselSyahrir Wahab), Lanosin (adik kandung Bupati Petahana Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan), dan Ali Nurdin (Bakal Calon Bupati Pandeglang).

Para pemohon meminta agar syarat calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan Petahana dihapus karena diskriminatif dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Syarat itu lebih pada pertimbangan politis dan asumtif. Seolah-olah, setiap calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan petahana dipastikan akan membangun dinasti politik yang akan merusak tatanan kehidupan berbangsa.

MK memberi tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 7 huruf s UU Pilkada. Sebab, ketentuan itu dinilai diskriminatif dan tidak adil bagi calon kepala daerah yang berasal PNS, Polri, TNI, pejabat BUMN, atau petahana yang mensyaratkan harus mengundurkan diri ketika mendaftar. Karena itu, pasal itu minta dimaknai “memberitahukan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPRD, DPD, dan anggota DPR sejak ditetapkan sebagai calon, bukan saat mendaftarkan diri sebagai calon. Atau dimaknai “memberitahukan pengunduran diri karena pencalonannya sebagai kepala daerah kepada Pimpinan  DPR, Pimpinan DPD, atau Pimpinan DPRD”.
Tags:

Berita Terkait