Lima Isu Hukum Perdata Internasional dalam Bidang Kenotariatan
Terbaru

Lima Isu Hukum Perdata Internasional dalam Bidang Kenotariatan

Seperti persoalan dan prinsip hukum perdata internasional dalam perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA), hingga penerapan prinsip domisili dan nasionalitas karena adanya hubungan hukum dua warga negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Sosialisasi Rancangan Hukum Perdata Internasional: Perkembangan dan Dampaknya bagi Hukum Indonesia' di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/10/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Sosialisasi Rancangan Hukum Perdata Internasional: Perkembangan dan Dampaknya bagi Hukum Indonesia' di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/10/2022). Foto: RFQ

Persoalan hukum perdata internasional muncul akibat adanya hubungan hukum keperdataan yang mengandung unsur asing yang saling bertentangan mengharuskan adanya pengaturan yang dapat menentukan titik pertautan. Profesi notaris menjadi salah satu yang bersinggungan dalam menangani akta otentik yang isinya perbuatan hukum para pihak yang bisa mengandung unsur asing.

“Seperti kecakapan dan kewenangan bertindak, keabsahan benda yang menjadi objek perbuatan hukum, bentuk formil , hingga validitas dari isi perbuatan hukumnya,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Anne Gunadi M Widjojo dalam sebuah diskusi bertajuk “Sosialisasi Rancangan Hukum Perdata Internasional: Perkembangan dan Dampaknya bagi Hukum Indonesia” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/10/2022).

Dia menuturkan terdapat lima isu hukum perdata internasional dalam bidang kenotariatan. Pertama, persoalan dan prinsip hukum perdata internasional dalam perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA). Perkawinan campuran tersebut menikah di Indonesia atau di luar negari. Menjadi persoalan terkait dengan keabsahan perkawinan, kecakapan dan kewenangan bertindak, harta benda perkawinan, perjanjian kawin, hingga perceraian dan akibat perceraian.

Baca Juga:

Menurutnya, validitas formil dan materil suatu perkawinan campuran ditentukan berdasarkan hukum di tempat perkawinan dilangsungkan (lex loci celebrationis). Sementara bagi WNI tak boleh bertentangan dengan hukum nasionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dia menerangkan perkawinan yang dilakukan di luar negeri antara WNI dan WNA atau sebaliknya, wajib dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan di tempat tinggalnya dalam waktu 30 hari sejak tiba di Indonesia. Bila tidak dicatat, maka perkawinan dianggap tidak ada,

Mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Kamar Pleno Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, akibat hukum perkawinan campuran itu tidak ada. Konsekuensi hukumnya tidak adanya harta bersama dan anak yang dilahirkan merupakan di luar nikah, serta perjanjian kawin yang dibuat dianggap tidak berlaku.

Kedua, persoalan dan prinsip hukum perdata internasional dalam kepemilikan hak atas tanah dan/atau hak milik atas satuan rumah susun oleh WNA yang tidak menikah. Begitu pula WNI yang menikah dengan WNA dalam perkawinan campuran dengan atau tanpa perjanjian kawin. Menurutnya, bila kawin campur tanpa membuat perjanjian kawin pemisahan harta, WNI dapat mempunyai hak pakai dengan jangka waktu yang berasal dari tanah negara, hak pengelolaan yang diperoleh sebelum atau selama perkawinan.

“Kemudian hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), hak guna (HGU) yang diperoleh sebelum perkawinan sebagai harta pribadi atau diperoleh sepanjang perkawinan karena warisan dan/atau hadiah sebagai harta pribadi.”

Sementara hak milik atas satuan rumah susun yang berdiri di atas tanah hak pakai. Bahkan, hak miliki atas satuan rumah susun yang berdiri di atas tanah HM dan HGB yang diperoleh sebelum atau selama perkawinan karena hibah atau warisan harta pribadi. Sedangkan WNA hanya dapat mempunyai hak pakai dengan jangka waktu untuk 1 bidang tanah per orang atau keluarga dan paling luas 2.000 M2.

Bagi yang membuat perjanjian kawin pemisahan harta, WNI mempunyai hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya. Seperti HM, HGB, hak pakai dengan jangka waktu tertentu. Sedangkan WNA hanya dapat mempunyai hak pakai dengan jangka waktu tertentu untuk 1 bidang tanah per orang atau keluarga paling luas 2.000 M2.

Ketiga, penentuan status badan hukum yang didirikan di Indonesia. Khususnya perseroran terbatas (PT) yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, validitas formil dan materil terhadap perbuatan hukum berkaitan dengan badan hukum Indonesia. Mengenai keputusan pemegang saham di luar rapat yang ditandatangani pemegang saham di luar Indonesia. Keputusan pemegang saham di luar rapat PT Penanaman Modal Asing (PMA) dilakukan pemegang saham asing di negaranya.

Dengan begitu, melahirkan persolan hukum perdata internasional. Menurutnya, PT PMA tunduk dan patuh pada hukum di Indonesia. Kemudian, bentuk formal perbuatan hukum yang dilakukan di negara asing berlaku hukum di negara tersebut. Sementara penggunaan bahasa asing tidak bertentangan dengan hukum Indonesia. Sebab, keputusan pemegang saham di luar rapat bukan akta notaris dan merupakan akta di bawah tangan, dan bukan termasuk pengertian perjanjian.

Keempat, persoalan dan prinsip hukum perdata internasional bagi WNI yang memiliki kewarganegaraan ganda yang belum berusia 18 tahun. Bahkan, belum menikah dalam perkawinan campuran antara WNI dan WNA berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah dan pewarisan, serta pendirian badan hukum perorangan.

Menurutnya, anak yang memiliki kewarganegaraan ganda tidak dapat memiliki hak atas tanah dengan HM, HGB, dan HGU. Tak hanya itu, anak yang memiliki kewarganegaraan ganda yang telah berusia 17 tahun tak dapat mendirikan badan hukum perseroan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.

“PP 8/2021 mensyaratkan pendirian badan hukum perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil, dapat didirikan oleh WNI yang berusia 17 tahun atau telah menikah dan cakap hukum,” kata dia.

Kelima, penerapan prinsip domisili dan nasionalitas berkaitan dengan adanya hubungan hukum dua warga negara yang menganut prinsip domisili dan prinsip nasionalitas. Misalnya, WNI menganut prinsip nasionalitas dan Singapura menganut prinsip domisili yang menikah secara sah. Ketika WNI (istri, red) meninggal dunia dan menetap di Singapura mengikuti suaminya yang berkewarganegaraan Singapura, maka harta kekayaanya yang ada di Indonesia dan Singapura, dalam penentuan ahli waris dan dokumen keterangan warisnya berlaku hukum Singapura. “Hukum Indonesia bagi WNI menganut prinsip nasionalitas.”

Guru Besar Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof Zulfa Djoko Basuki mengatakan bertambahnya isu asing mengharuskan perlunya hukum perdata internasional. Sebagai negara merdeka dan berdaulat, Indonesia wajib memiliki UU khusus yang sistematis mengatur hukum perdata yang menyangkut unsur asing dalam menentukan hukum mana yang berlaku dan menyelesaikan persoalan hukum lintas batas negara.

Soal bagaimana relevansi hukum nasional dengan prinsip hukum internasional, menurutnya hukum perdata internasional harus mengakomodir dan menentukan hukum yang berlaku termasuk soal kualifikasi dalam merekonsiliasi perbedaan hukum positif dengan negara-negara lain. Seperti kadaluarsanya di mana hukum tersebut berlaku.

“Karenanya perlu ada pengaturan tegas yang mengatur tentang perbedaan pilihan hukum dan pilihan forum. Semua masalah hukum ini perlu dijawab melalui UU HPI. Kiranya para ahli hukum kita perlu punya pegangan dan tidak ragu hukum manakan dan forum manakah yang berlaku untuk hukum keperdataan asing,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait