LSM Asing Menjadi Amicus Curiae Kasus Penggusuran
Utama

LSM Asing Menjadi Amicus Curiae Kasus Penggusuran

Para aktivis HAM asing lebih memilih menjadi amicus curiae atau teman pengadilan ketimbang menjadi ahli. Keuntungannya bisa lebih mengeksplorasi argumen dan tak perlu hadir ke ruang sidang.

Ali
Bacaan 2 Menit
Pemerintah dinilai kerap langgar prosedur penggusuran. <br> Foto: www.cohre.org
Pemerintah dinilai kerap langgar prosedur penggusuran. <br> Foto: www.cohre.org

Kasus penggusuran rumah warga di daerah Papanggo, Jakarta Utara, rupanya sampai juga ke telinga penggiat hak asasi manusia (HAM) di luar negeri. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, The Centre on Housing Rights and Eviction (COHRE), secara sukarela mengajukan pendapatnya terhadap kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pendapat COHRE ini diserahkan ke pengadilan pada awal bulan lalu. Perkara gugatan class action warga Papanggo ini memang masih terus disidangkan di PN Jakarta Utara. 

 

LSM yang berbasis di Genewa, Swiss, ini memang bertindak sebagai amicus curiae atau ‘teman pengadilan’. Koordinator Program Litigasi COHRE, Bret Thiele mengatakan tujuan lembaganya adalah membawa argumentasi hak asasi manusia ke dalam persidangan yang menggugat Walikota Jakarta Utara dan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

 

“Biar majelis hakim semakin paham mengenai HAM, khususnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya (ekosob),” ujar Bret dalam konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Kamis (3/12). Ia juga berharap agar Kovenan Internasional Hak Politik dan Sipil (ICCPR) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dapat diterapkan dengan baik. 

 

Untuk menyampaikan pendapat, sebenarnya Bret punya opsi lain. Yakni menjadi ahli di pengadilan. Namun, Bret punya beberapa alasan khusus mengapa lebih memillih menjadi 'teman pengadilan'. Pertama, terdapat perbedaan yang cukup besar antara 'teman pengadilan' dengan ahli. Ia mengatakan, amicus curiae menyampaikan argumentasi-argumentasi hukum yang harus dipakai.

 

Sedangkan menjadi ahli, menurut Bret hanya terbatas menjelaskan fakta-fakta hukum yang ada sesuai dengan keahliannya. “Sebagai 'teman pengadilan', kami jadi lebih terbuka untuk mengeksplorasi pendapat kami,” tuturnya.

 

Kedua, terkait masalah efisiensi. Ia mengatakan sebagai 'teman pengadilan', pihaknya tak perlu repot-repot datang ke Pengadilan. “Kami cukup mengirimkannya saja,” ujarnya. Bila menjadi ahli, Bret tentu harus datang dan menyampaikan pendapatnya di ruang sidang. Alasan ini memang cukup rasional mengingat domisili COHRE yang berada di luar negeri.

 

Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat mengatakan, walau bukan yang pertama kali, amicus curiae relatif memang belum familiar di telinga para hakim di Indonesia. “Melalui kasus ini kami berharap ada perbaikan di sistem hukum Indonesia,” ujarnya. Artinya, Nurkholis meminta agar pendapat amicus curiae ini dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam putusannya.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, pendapat amicus curiae juga pernah disampaikan dalam perkara Majalah Times melawan Soeharto. Kala itu, sejumlah media nasional maupun internasional mengajukan pendapatnya dalam perkara di tingkat peninjauan kembali itu. Nurkholis juga mengatakan COHRE sebelumnya juga pernah mengajukan pendapat amicus curiae dalam kasus stigma mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, beberapa tahun lalu.

 

Kasus Papanggo

Untuk mengingatkan, kasus Papanggo ini bermula dari digusurnya rumah warga di daerah Papanggo, Jakarta Barat. Kumpulan warga itu mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum penguasa ke PN Jakarta Utara. Metode yang digunakan adalah class action. Ada enam warga sebagai penggugat yang mewakili 247 kepala keluarga. Mereka terbagi dua jenis kelas, yakni kelas yang kehilangan rumah dan kelas yang kehilangan pekerjaan akibat penggusuran itu.

 

Kuasa Hukum penggugat dari LBH Jakarta, Edy Halomoan Gurning, mengatakan kliennya menggugat Walikota Jakarta Utara dan Gubernur DKI Jakarta. Pada saat menggusur rumah warga, tidak ada surat peringatan atau perintah penggusuran. Padahal, lanjutnya, prosedur tersebut merupakan kewajiban yang harus dihadapi.

 

Bret berpendapat pemerintah memang bisa menggusur perumahan warga, tetapi harus menggunakan alasan yang memang benar-benar jelas. Misalnya, daerah yang ditempati oleh warga berbahaya sehingga mereka harus dipindahkan dari sana. “Tapi menggusurnya tak sembarangan. Harus sesuai prosedur,” tuturnya.

 

Peneliti COHRE Hannah Neumeyer mengatakan bila terjadi penggusuran maka pemerintah harus menyediakan ganti rugi yang layak bagi para korban. Yakni, adanya kompensasi, rehabilitasi, dan adanya jaminan tidak melakukan penggusuran lagi. Penulihan hak para korban itu harus dirumuskan bersama-sama dengan korban.

 

Penggugat dan COHRE boleh saja berpendapat seperti itu. Namun, Gubernur DKI Jakarta selaku tergugat I tetap bersikukuh tindakan jajarannya masih sesuai dengan hukum yang berlaku. “Para penggugat tidak mempunyai dasar hukum mengajukan gugatan dikarenakan para penggugat tidak perlu mengajukan gugatan terhadap para tergugat karena telah memanfaatkan tanah asset Pemerintah DKI Jakarta yang bukan miliknya,” demikian bunyi berkas eksepsi Gubernur.

 

Tags: