Manajemen Risiko dan Identifikasi Titik Rawan Penerimaan Gratifikasi
Utama

Manajemen Risiko dan Identifikasi Titik Rawan Penerimaan Gratifikasi

Permasalahan gratifikasi muncul akibat ketimpangan relasi dan ketidakadilan dalam pelayanan yang diterima masyarakat. Hal tersebut menyebabkan masyarakat memberikan sesuatu atau gratifikasi sebagai imbalan kepada pelayan publik.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Webinar Gratifikasi-Talks (G-TALK) Manajemen Risiko & Identifikasi Titik Rawan Penerimaan Gratifikasi.
Webinar Gratifikasi-Talks (G-TALK) Manajemen Risiko & Identifikasi Titik Rawan Penerimaan Gratifikasi.

Persoalan gratifikasi pada sektor publik menjadi salah satu aspek penting yang harus dibenahi dalam pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima lebih dari 14.019 laporan praktik gratifikasi dari kementerian, lembaga pemerintahan daerah, BUMN hingga swasta per 1 Desember 2021. KPK juga menerima 7.709 laporan gratifikasi dari rentang waktu Januari 2015 hingga September 2021 dengan nilai yang diuangkan sebesar Rp 171 miliar.

Dilansir dari Buku Saku Memahami Gratifikasi yang dikeluarkan KPK ada 2010 lalu, dalam Pasal 12B ini, perbuatan penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, Herda Helmiwijaya, menyampaikan permasalahan gratifikasi muncul akibat ketimpangan relasi dan ketidakadilan dalam pelayanan yang diterima masyarakat. Hal tersebut menyebabkan masyarakat memberikan sesuatu atau gratifikasi sebagai imbalan kepada pelayan publik.

Baca Juga:

“Kami berpendapat permasalahan utama gratifikasi itu adalah ketimpangan relasi dan unfairness dalam layanan, penerima layanan merasa tidak menerima informasi yang terbuka sehingga menyeimbangkan relasi timpang ditutup dengan gratifikasi. Ini semacam investasi hubungan berikutnya, bisa jadi masyarakat merasa unfairness sehingga tutupi ketakutan itu beri gratifikasi apapun namanya,” ungkap Herda dalam sebuah webinar.

Sehingga, sebuah instansi publik seperti kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah hingga badan usaha negara harus memiliki sistem mitigasi risiko dan mampu menambal titik-titik rawan gratifikasi. Dia menjelaskan semakin tingginya ketimpangan layanan maka risiko gratifikasi makin tinggi.

“Apakah titik layanannya sudah seimbang dan tidak ada unfairness? Kalau belum itu lah titik rawan gratifikasi. Cara paling mudah buat saja risk register dulu mudah kok, akan banyak tuh risiko dalam list-nya itu dibuat dengan cara retrospektif dan prospektif,” jelas Herda.

Sementara itu, Deputi Direktur Bidang Kepatuhan dan Hukum dan Ketua Unit Pengendalian Gratifikasi, Badan Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Suirwan menyatakan pihaknya telah berupaya menutup titik-titik rawan gratifikasi. Sekadar informasi, BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana sekitar Rp 600 triliun dengan kepesertaan sekitar 36 juta peserta. Kemudian, terdapat hampir 6 ribu karyawan yang tersebar di berbagai daerah.

Dengan kondisi tersebut, Suirwan mengatakan pihaknya memiliki sistem antisipasi gratifikasi. “Kami memetakan dengan infrastruktur yang ada, ada sistem informasi manajemen risiko basis dari pengelolaan infrastrukturnya. Ada penyusunan profil risiko berdasarkan RCSA (risk control self assessment) yang basisnya program kerja. Maka untuk identifikasi tambahannnya ada infrastruktur lain sistem pengendali kecurangan atau fraud control system,” jelas Suirwan.

Dia menambahkan pihaknya juga menerapkan fraud risk assessment (FRA), gratification risk assessment (GRA) dan bribery risk assessment (BRA). “Kalau hanya mengandalkan sistem manajemen informasi risiko berdasarkan program kerja saja maka khawatir tidak teridentifikasi pada area lainnya. FRA, GRA, BRA menjadi salah satu komponen pelengkap sehingga tidak ada satu pun yang teridentifikasi,” jelas Suirwan.

Tags:

Berita Terkait