Melawan Penal Populism
Kolom

Melawan Penal Populism

Penjatuhan hukuman mati nyatanya hanya memuaskan masyarakat sesaat saja. Pidana mati yang dijatuhkan tidak berfokus pada langkah-langkah solutif atas akar masalah penyebab kejahatan.

Bacaan 5 Menit
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa
Rozy Brilian Sodik. Foto: Istimewa

Hukuman mati masih diperdebatkan dalam diskursus hukum di Indonesia, khususnya pada ranah akademis. Sejumlah pakar dan ahli hukum pidana masih setuju memberlakukan hukuman mati. Argumentasi utamanya tentu saja berkaitan dengan efek jera (deterrent effect). Sementara itu, kalangan pro abolisi menghendaki penghapusan hukuman mati. Mereka terus melakukan kampanye publik untuk menyeimbangkan narasi pendukung hukuman mati.

Saling silang pendapat pun mengemuka di tengah masyarakat. Contoh dukungan hukuman mati adalah respon masyarakat atas peradilan kasus Ferdy Sambo—mantan perwira tinggi kepolisian—yang membunuh Brigadir Yosua Hutabarat, ajudannya sendiri. Simpatisan mendiang Brigadir Yosua meminta agar putusan yang dijatuhkan hakim berisi hukuman mati. Ancaman hukuman ini adalah yang tertinggi dari Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana. Ferdy Sambo sempat divonis mati di pengadilan tingkat pertama dan banding. Namun, Mahkamah Agung (MA) mengoreksi putusan sebelumnya dengan menjatuhkan vonis seumur hidup.

Respon lain bisa dilihat terhadap kasus Herry Wirawan. Sosok guru ngaji ini melakukan pemerkosaan kepada 13 santriwati. Tindakan keji yang dilakukan selama 2016-2021 tersebut menyebabkan trauma psikologi yang berkepanjangan bagi korban. Pelaku akhirnya divonis hukuman mati bahkan hingga berkekuatan hukum tetap. Vonis yang dijatuhkan MA tersebut diapresiasi dan didukung sejumlah pejabat negara. Sebut saja Gubernur Jawa Barat saat itu, Ridwan Kamil dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga.

Baca juga:

Praktik vonis hukuman mati masih berlanjut setiap tahun, terutama untuk kejahatan narkotika. Kendati para pengedar telah banyak dijatuhi vonis mati, tidak tampak tanda-tanda menurunnya angka penyalahgunaan narkotika. Sampai di sini, argumentasi pendukung hukuman mati harus diuji secara serius. Sebesar apa efektivitas hukuman mati yang akan menimbulkan efek jera?

Peradaban HAM

Di tingkat Internasional, tren yang mencuat ialah banyak negara yang meninggalkan hukuman mati. Mereka menunaikan komitmen moratorium terhadap eksekusi. Mengutip data Amnesty International,—paling tidak hingga Desember 2022—ada 112 negara telah menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan. Jumlah ini ditambah sembilan negara lain telah menghapuskan hukuman mati hanya untuk kejahatan biasa. Banyaknya negara yang menghapus pidana mati dapat dimaknai sebagai pergeseran paradigma penghukuman. Peradaban telah menuju cara-cara yang lebih manusiawi. Selain itu, arus populisme pun bergeser. Semula penghukuman dengan metode kejam lalu bertransformasi ke arah yang lebih bertujuan (utilitarian).

Secara normatif—merujuk Pasal 28I UUD 1945—, konstitusi secara tegas menjamin hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Berbagai instrumen hukum Hak Asasi Manusia (HAM) pun telah mengatur hal serupa. Hak untuk hidup merupakan hak paling fundamental yang seharusnya dilindungi oleh hukum. Sayangnya, KUHP baru yang telah disahkan masih juga mengatur dan menyisakan ruang untuk pidana mati. Walaupun telah lebih baik—dengan menempatkan pidana mati sebagai pidana alternatif—, ada begitu banyak kerancuan dalam norma KUHP baru itu. Akhirnya, kelak akan timbul ketidakpastian hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait