Melihat Aspek Hukum Ketenagakerjaan dalam Fenomena PHK Industri Startup
Terbaru

Melihat Aspek Hukum Ketenagakerjaan dalam Fenomena PHK Industri Startup

Persoalan daya tahan bisnis industri startup menjadi perhatian publik saat ini. Fenomena pemutusan hubungan ketenagakerjaan (PHK) bermunculan khususnya saat masa pandemi Covid-19.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Melihat Aspek Hukum Ketenagakerjaan dalam Fenomena PHK Industri Startup
Hukumonline

Terdapat karakteristik bisnis dan hubungan ketenagakerjaan dalam industri startup. Berbagai aspek hukum ketenagakerjaan perlu diperhatikan agar hak dan kewajiban para pihak khususnya pemberi kerja dan pekerja tidak terabaikan.

Dalam wawancara Hukumonline dengan Advokat sekaligus Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga, terdapat aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dalam fenomena PHK yang terjadi pada perusahaan startup. Salah satu aspek yang diperhatikan yaitu ketentuan yang jelas mulai dari hubungan kerja, jam kerja, upah, lembur, bonus. Bahkan, dia juga menjelaskan terdapat perusahaan startup tidak memberikan perlindungan kerja.

“Memang ada perbedaan industri konvensional dengan startup, konvensional jelas dalam hubungan kerja, jam kerja, insentif, bonus dan lain-lain. Konvensional bisa dikatakan ada upah, pekerjaan, perintah, paling utama itu ada jam kerja jelas misalnya lebih dari 8 jam kerja ada lembur. Industri startup lahir dari perkembangan teknologi, dari sisi ketenagakerjaan di sini abu-abu yang jika dikaitkan dengan hubungan kerja tidak jelas, pekerjaannya apa, upahnya gimana, perintahnya apa, jam kerja gimana, bonus, lembur ini tidak jelas,” ungkap Andy saat dihubungi Hukumonline beberapa waktu lalu.

Baca Juga:

Aspek lain, dia juga menceritakan terdapat kasus perusahaan startup yang pemiliknya tidak berada di Indonesia karena mampu menjalankan bisnisnya secara lintas batas dengan memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini menyebabkan sulitnya menuntut pertanggungjawaban pemilik usaha terhadap perlindungan tenaga kerja.

Owner tidak di Indonesia, bahkan berada di India, Abu Dhabi, Singapur. Kalau ada cabang di Indonesia, country director-nya tidak punya wewenang untuk bayar pesangon pekerja,” ungkapnya.

Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki berbagai regulasi yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan tenaga kerja seperti Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja serta UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sayangnya, Andy menilai regulasi tersebut belum kuat diterapkan pada industri startup yang mengakibatkan perlindungan hukum tenaga kerjanya lemah.

“Oleh karena itu, fenomena PHK startup ini, para pengelola-pengelola ini mereka lihat bahwa tidak ada perlindungan hukum yang didapatkan pekerjanya, sehingga mereka enak saja lakukan PHK,” ungkap Andy.

Untuk itu, dia mengimbau kepada pemerintah untuk segera merumuskan tanggung jawab pengawasan industri startup tersebut. Pemerintah dinilai perlu pengawasan intens ketat tapi juga harus beri perhatian cukup saat startup ini bankrupt bisa beri pertanggung jawaban.

Tags:

Berita Terkait