Melihat Penerapan Keadilan Restoratif di Kejaksaan
Utama

Melihat Penerapan Keadilan Restoratif di Kejaksaan

Melalui Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kejaksaan telah menuntaskan sejumlah perkara. Jaksa Agung meminta Jaksa peka atas ketidakadilan melalui penerapan keadilan restoratif.

CR-28
Bacaan 4 Menit
Suasana penerapan keadilan restoratif dengan Tersangka Susanto yang melakukan tindak pidana pencurian di Kejaksaan Negeri Merangin, Jambi. Foto: Kejaksaan RI
Suasana penerapan keadilan restoratif dengan Tersangka Susanto yang melakukan tindak pidana pencurian di Kejaksaan Negeri Merangin, Jambi. Foto: Kejaksaan RI

Bergesernya orientasi hukum pidana, yang semula menekankan pada aspek pembalasan berupa pemidanaan, kini lebih menitikberatkan aspek pemulihan demi menjaga nilai kemanusiaan dan keadilan di masyarakat. Untuk itu, penerapan keadilan restoratif atau restorative justice menjadi kebutuhan hukum yang tidak dapat dihindari dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.  

Untuk itu, guna mewujudkan pemulihan keadilan itu, Kejaksaan telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam rangka melaksanakan aturan itu, Kejaksaan sudah mempraktikkan penerapan keadilan restoratif dalam beberapa kasus.  

"Saya meminta kepada teman-teman Jaksa di daerah untuk peka atas ketidakadilan. Jangan sampai ada pencurian seperti Nenek Minah terulang lagi. Tidak ada ya. Kalaupun Kejari meloloskan (menuntut, red) hal yang sepele itu, akan dieksaminasi dan saya pertanyakan kenapa itu bisa sampai terjadi,” kata Jaksa Agung RI ST Burhanuddin usai menyaksikan langsung proses jalannya penerapan restorative justice pada Kejaksaan Negeri Merangin sebagaimana dilansir laman Instagram resmi Kejaksaan RI, Minggu (16/1/2022). (Baca Juga: Mencermati Definisi Restorative Justice di Beberapa Aturan)

Kasus yang ditinjau langsung oleh Jaksa Agung saat itu adalah perkara pemuda asal Merangin, Jambi, bernama Susanto yang melakukan tindak pidana pencurian. Dia mencuri satu besi rongsokan potongan body mobil dari perusahaan tempatnya bekerja untuk dijual kembali demi mengobati ibunya yang sedang sakit. Atas inisiatif Jaksa yang didasari hati nurani, Susanto dan korban dipertemukan dan dilakukan upaya perdamaian.

Burhannuddin yang menyempatkan waktunya menyaksikan pemberhentian penuntutan berdasarkan restorative justice itu berpesan, "Pencurian sekecil apapun itu adalah kejahatan dan tidak boleh dilakukan. Tetapi yang juga terpenting, rasa keadilan di masyarakat tetap terjaga. Dari saya sampaikan langkah ini adalah langkah terbaik. Bagi perusahaan mungkin satu besi tidak terlalu berarti, tetapi bagi Susanto berarti. Artinya ada keseimbangan."

Selain kasus Susanto di Kejaksaan Negeri Merangin, penghentian penuntutan dengan dasar restorative justice juga dialami Tersangka Ibrahim M. Ali Bin Alm M. Ali dari Kejaksaan Negeri Bireuen yang diduga melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan pada Rabu (12/1/2022). Pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan atas beberapa alasan.

Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kemudian, pasal yang disangkakan tindak pidananya diancam pidana tidak lebih dari 5 tahun dan telah ada kesepakatan perdamaian antara tersangka dengan korban sebelumnya. Adapun korban dan keluarga merespons positif keinginan tersangka untuk meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kembali perbuatannya.

Selain kepentingan korban terpenuhi, juga dipertimbangkan pula masa depan tersangka yang masih panjang dan diharapkan lebih baik lagi ke depannya. Terakhir, cost dan benefit penanganan perkara serta mengefektifkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

“Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif akan segera diterbitkan sebagai perwujudan kepastian hukum. Sebelum diberikan SKP2, tersangka telah dilakukan perdamaian baik terhadap korban, keluarga korban, yang disaksikan tokoh masyarakat serta penyidik Kepolisian,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Bireuen, Lili Suparli.

Contoh lain, pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana atas nama Tersangka M. Jafar Bin Alm. Tulet di Kejaksaan Negeri Aceh Utara. Dia diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penghentian ini telah disetujui pula oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana pada Rabu (12/1/2022) lalu.

Kejaksaan Negeri Bone turut melakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif pada Tersangka atas nama Lukman yang disangkakan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perdamaian dilakukan terhadap korban (ibunya) dan keluarga korban yang disaksikan oleh tokoh masyarakat serta penyidik Kepolisian yang diinisiasi pihak Kejaksaan. Dari dokumentasi yang ada, terlihat tersangka bersimpuh di kaki korban memohon maaf dan berjanjii tidak mengulangi perbuatannya.

Meski eksistensi restorative justice bernilai positif, Jaksa Agung tetap mengingatkan seluruh jajaran Kejaksaan untuk menilai suatu kasus dengan seksama apakah dapat diterapkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atau tidak sesuai kualifikasi yang ada. Arahan itu disampaikan pada seluruh jajaran Kejaksaan di wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Jambi pada Jum’at (7/1/2022) lalu di Kantor Kejaksaan Tinggi Jambi pada saat kunjungan kerjanya.

Untuk diketahui, dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Keadilan Restoratif diartikan sebagai suatu penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Lalu, mencari penyelesaian secara adil dengan menekankan pemulihan kembali bersama-sama, sehingga dapat membalikan keadaan seperti sediakala sebelum tindak pidana terjadi.

Pada peraturan yang sama, perihal penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, seorang Jaksa harus melaksanakannya atas dasar asas-asas sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 yakni keadilan; kepentingan umum; proporsionalitas; pidana sebagai jalan terakhir; serta cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Tags:

Berita Terkait