Melihat Poin Penting 4 RPP Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Utama

Melihat Poin Penting 4 RPP Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja

Perwakilan pengusaha menilai UU Cipta Kerja ditujukan untuk membenahi persoalan ekonomi, antara lain penyerapan tenaga kerja yang lemah. Tapi, perwakilan buruh berpendapat UU Cipta Kerja “berwajah” konflik.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Dia melihat selama ini UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur atau mengakomodasi kepentingan UMKM. Akibatnya UMKM selalu berada di sektor informal. UMKM juga kesulitan mengakses fasilitas pinjaman dan perpajakan. Akibatnya secara umum APBN Indonesia besarnya hanya 20 persen dari GDP, begitu pula pajak hanya 8 persen. Karena itu, regulasi omnibus law seperti UU Cipta Kerja sangat dibutuhkan untuk membenahi berbagai persoalan tersebut.

Bob menuturkan Apindo dan Kadin kerap mendapat keluhan dari kalangan pengusaha baik dari dalam dan luar negeri karena soal perizinan di Indonesia yang berbelit-belit. Soal pesangon yang diubah pengaturannya lewat UU Cipta Kerja, Bob mengatakan harus dipisahkan antara pesangon untuk waktu tunggu buruh mencari kerja dengan buruh yang masuk masa pensiun.

“Kalangan pengusaha juga mendukung program JKP karena mengubah pasar tenaga kerja menjadi aktif. Melalui program tersebut tenaga kerja difasilitasi untuk bisa bekerja kembali. Yang penting itu bukan pesangon yang diperbesar, tapi bagaimana dipermudah untuk mencari kerja,” sarannya.

Soal outsourcing, PKWT, dan pekerjaan paruh waktu, Bob menilai ketentuan yang mengatur hal tersebut sangat penting karena ini mendorong kemudahan mendapat pekerjaan. Pekerjaan paruh waktu membuka kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang masih sekolah. Budaya kerja paruh waktu ini sudah berjalan di luar negeri dan perlu juga diterapkan di Indonesia.

“Misalnya, hari libur dan Sabtu-Minggu restoran biasanya ramai pengunjung dan membutuhkan tenaga kerja. Pekerjaan paruh waktu akan membantu restoran untuk mendapatkan tenaga kerja sesuai kebutuhan,” katanya.

Berwajah konflik

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia, Timboel Siregar, berpendapat UU Cipta Kerja “berwajah” konflik karena substansinya banyak memangkas hak buruh. Misalnya, penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sekarang sifatnya menjadi tidak wajib karena UU Cipta Kerja mencantumkan frasa “Gubernur dapat menetapkan UMK dengan syarat tertentu.” Komponen Kebutuhan Hidiup Layak (KHL) yang selama ini digunakan acuan penetapan upah layak juga dihapus, begitu juga upah minimum sektoral.

Kemudian UU Cipta Kerja juga mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur buruh outsourcing tidak boleh digunakan menjalankan kegiatan pokok, hanya boleh untuk kegiatan penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Timboel menilai dengan diubahnya ketentuan Pasal 66 ini ada kesan buruh outsourcing dapat dipekerjakan untuk semua jenis pekerjaan baik pokok dan penunjang.

“Apakah nanti akan ada satu perusahaan (pemberi kerja/perusahaan pengguna atau user, red) isinya pekerja outsourcing semua? Ketentuan ini berpotensi membuat perselisihan hubungan industrial semakin meningkat baik itu demonstrasi dan mogok kerja,” kata Timboel memperkirakan.

Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), Ike Farida, mengatakan UU Cipta Kerja berdampak pada 76 UU yang memuat kurang lebih 174 pasal yang terdiri dari 10 klaster, salah satunya ketenagakerjaan. Tujuan UU Cipta Kerja ini yakni harmonisasi UU dan regulasi terkait; kenyamanan dan kemudahan; mengundang lebih banyak investor; efisiensi, penyederhanaan, dan fasilitasi; dan fleksibilitas.

“UU Ketenagakerjaan terkesan sangat rigid (kaku, red). Dengan UU Cipta Kerja diharapkan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pekerja dan perusahaan,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait