Melihat Rencana Penerbitan Perppu PKPU dan Kepailitan di Masa Kedaruratan Bencana
Kolom

Melihat Rencana Penerbitan Perppu PKPU dan Kepailitan di Masa Kedaruratan Bencana

Perppu nantinya akan diintegrasikan menjadi Bab khusus Kedaruratan Bencana dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

Bacaan 7 Menit

Domain untuk mendefinisikan keadaan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” itu merupakan kewenangan Presiden. Namun menurut Jimly Asshiddiqie (2007:282) syarat materiil dalam penetapan Perppu adalah: a) ada kebuntuan yang mendesak atau bertindak (reasonable necessity); b) waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau terdapat kegentingan waktu; c) tidak tersedia alternatif atau menurut penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) alternatif lain diperkirakan tidak dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan Perpu adalah satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan tersebut (baca juga Bagir Manan, 1999:60),

Dengan demikian pandangan yang menyatakan bahwa lahirnya Perppu Kepailitan dan PKPU merupakan bentuk intervensi atau menabrak kewenangan yudikatif Mahkamah Agung jelas tidak berdasar dan merupakan kekeliruan dalam berlogika.

Selanjutnya, hukum kepailitan dan PKPU berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1988 yang merupakan pengesahan dari Perpu No. 1 Tahun 1998, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Mudahnya syarat permohonan kepailitan dan PKPU yang ujung akhirnya kepailitan dalam UU No. 37/2004 itu telah menempatkan negara dalam keadaan darurat kepailitan. Hal ini tentu tidak saja membahayakan pembangunan ekonomi nasional, tetapi juga akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai akibat hilangnya lapangan kerja di sektor formal. Untuk itu, mengubah syarat permohonan kepailitan dan PKPU harus dilakukan agar menjadi lebih terukur.

Penundaan Permohonan Kepailitan dan PKPU

Sejak diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, sesungguhnya secara nasional berada dalam keadaan kahar (force majeure). Dalam kondisi ini memang tidak serta merta dapat dijadikan alasan untuk membatalkan suatu perjanjian yang telah dibuat, karena adanya asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (Pacta Sunt Servanda) yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Meskipun demikian, debitur harus diberikan kesempatan untuk tetap menjalankan usahanya (going concern) dengan berbagai kemudahan dari kreditur-krediturnya, yaitu antara lain melalui restrukturisasi utang dengan tenor yang lebih panjang dan/atau pengecilan hingga penghapusan bunga utangnya. Namun, jika hal ini tidak dapat dilakukan antara debitur dengan kreditur melalui negosiasi bilateral, maka pemerintah dapat melakukan intervensi dengan memberikan kelonggaran (relaksasi) dalam pembayaran utang dan/atau kewajiban selama pandemi Covid-21 agar tidak merugikan kreditur.

Dalam hal ini, Pemerintah telah memberikan releksasi melalui penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. POJK ini memberikan fleksibilitas bagi perbankan untuk menetapkan skema restrukturisasi kredit, termasuk jangka waktu perjanjian restrukturisasi. Sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing debitur yang terdampak Covid-19. Langkah ini diharapkan membantu perbankan dalam menata kinerja keuangannya terutama dari sisi mitigasi resiko kredit.

Tags:

Berita Terkait