Sengkarut soal berbagai kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 sebagian kalangan menyikapi dengan mewacanakan hak angket di Parlemen. Kendati menjadi polemik, hak angket prinsipnya menjadi hak konstitusional anggota dewan di parlemen. Lantas bagaimana pandangan sejumlah pengajar hukum tata negara?.
Dosen Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini berpandangan hak angket bukanlah hal baru dalam pemilu. Sebab, hak angket pernah ditempuh pada penyelenggaraan Pemilu 2009. Saat itu hak angket soal daftar pemilih tetap yang diusulkan oleh 22 anggota DPR lintas 6 fraksi.
Hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU yang berkaitan dengan hal penting strategis dan berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat berbangsa bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Nah, pihak yang memiliki kewenangan mengajukan hak angket adalah anggota dewan di parlemen. Sementara mekanisme pengajuan hak angket diatur secara gamblang dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yakni paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Dengan begitu, konsolidasi mesti berbasis kekuatan politik di DPR.
“Hak angket itu harus dilihat lebih besar daripada kepentingan Pilpres atau Pileg, harus dilihat lebih besar daripada kepentingan elektoral,” ujar Titi saat berbincang dengan Hukumonline, Sabtu, (24/2/2024).
Baca juga:
- Tak Ada Aturan Haruskan Pansus Hak Angket Konsultasi dengan Presiden
- Pasal Ini Jadi Alasan Hak Angket Berbahaya Bagi Independensi KPK
- DPR: Penggunaan Hak Angket Bentuk Pengawasan
Bagi Titi, hak angket juga dapat dianggap sebagai pelaksanaan fungsi pengawasan DPR untuk memastikan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dijalankan dengan baik dan tidak ada pelanggaran terhadap implementasinya. Selain itu, hak angket bisa ditempatkan sebagai kepentingan menjaga demokrasi Indonesia dan memperbaiki pemilu selanjutnya.