Memahami Seluk Beluk Proposal Perdamaian dalam PKPU dan Pailit
Berita

Memahami Seluk Beluk Proposal Perdamaian dalam PKPU dan Pailit

Tidak ada aturan yang mengatur tentang penyusunan proposal perdamaian, namun biasanya proposal perdamaian yang disampaikan harus terperinci dan terbuka akan lebih meyakinkan kreditur bahwa debitur sungguh-sungguh ingin menyelesaikan utangnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Sebelumnya, Managing Partner Siregar Setiawan Manalu Partnership, Nien Rafles Siregar, dalam prosesnya permohonan PKPU dan pailit dapat dilakukan oleh kedua belah pihak baik kreditur maupun debitur. Hanya saja, pendaftaran PKPU dan pailit harus dilakukan oleh seorang advokat atau kuasa hukum.

Untuk pengajuan pailit diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 43, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan Pasal 212 harus diajukan oleh seorang advokat.”

Sementara PKPU, diatur dalam Pasal 224 ayat (1), di mana permohonan PKPU harus diajukan kepada Pengadilan Niaga dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.

“Penasehat hukum atau kuasa hukum dalam PKPU dan pailit sangat penting, selain diwajibkan menggunakan kuasa hukum dalam beberapa tindakan terkait PKPU dan pailit karena debitur dan kreditur tidak bisa mengajukan permohonan PKPU dan pailit, juga dikarenakan jangka waktu yang pendek. Dan tidak semua kreditur atau debitur memahami itu dan tentunya akan merugikan karena tidak cukupnya advice yang spesifik,” jelasnya.

Di samping itu, kata Nien, kuasa hukum adalah pihak yang mengerti bagaimana cara membuat draf permohonan PKPU, membuktikan utang secara sederhana, dan memberikan advice kepada debitur dan kreditur. Dalam hal ini pula, advokat dituntut untuk mempertimbangkan perspektif komersial, bukan hanya sekedar legal perspektif.

Tags:

Berita Terkait