Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia - Bagian 2
Kolom

Memaknai 99 Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia - Bagian 2

Masalah paling sulit dikerjakan adalah mencapai tujuan pendidikan tinggi hukum. Butuh lingkungan pendidikan tinggi yang religius dan mengedepankan akhlak serta budaya masyarakat kita. Bimbingan dan suri teladan para dosen kepada mahasiswanya juga dibutuhkan.

Bacaan 6 Menit
Prof. Yusril Ihza Mahendra. Foto: Istimewa
Prof. Yusril Ihza Mahendra. Foto: Istimewa

Upaya kita menciptakan norma hukum baru di bidang hukum perdata dan pidana memang telah berkembang sangat pesat sejak pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tetap menjadi rujukan dan asas-asasnya diterima dalam praktik. Namun, kita juga menciptakan norma-norma baru yang tidak terkodifikasi, tetapi memberikan pengaturan yang relatif cukup banyak di bidang perdata dan bisnis pada umumnya.

Kemajuan dalam melakukan transformasi asas-asas syariah ke dalam hukum bisnis kontemporer—meliputi perbankan, asuransi, perdagangan surat berharga (syuquq), lembaga pembiayaan kecil dan menengah berdasarkan syari’ah— berkembang pesat. Disadari atau tidak, terjadi semacam adopsi dari kaidah-kaidah syariah ke dalam hukum nasional kita. Dua tahun yang lalu Pemerintah melakukan merger besar-besaran pada bank-bank syariah anak perusahaan bank-bank BUMN menjadi Bank Syari’ah Indonesia (BSI). Kini BSI menjadi salah satu dari lima bank terbesar di tanah air.

Sementara itu, di bidang hukum pidana kita telah berhasil mengganti Wetboek van Straftrechts (WvS)—Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan Hindia Belanda—dengan KUHP Nasional pada tanggal 6 Desember 2022 (setelah WvS berlaku selama 100 tahun lamanya). KUHP Nasional itu baru akan diberlakukan pada tahun 2025 yang akan datang. Perubahan ini cukup mendasar, beralih dari pemikiran lama bercorak kolonial ke pemikiran baru berlandaskan falsafah negara (termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia).

Baca juga:

Paradigma hukum yang digunakan juga berbeda. Keadilan retributif—yang menekankan sanksi fisik dan pembalasan—beralih menjadi paradigma keadilan korektif bagi pelaku, restoratif bagi korban, dan rehabilitatif baik bagi pelaku maupun bagi korban kejahatan. Tugas dari fakultas hukum di masa transisi pemberlakuan KUHP Nasional ini adalah melakukan kajian untuk memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Tugas lainnya adalah sosialisasi baik kepada aparatur penegak hukum maupun kepada seluruh warga masyarakat.

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah tegas menyebutkan adanya empat lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung: Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Di samping itu, berdasarkan undang-undang telah dibentuk berbagai peradilan khusus untuk menangani bidang-bidang tertentu. Misalnya pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, dan pengadilan tindak pidana korupsi.

Kementerian Kehakiman dan HAM, pada tahun 2004, telah menyerahkan tugas-tugas administratif, personel, dan keuangan di pengadilan negeri dan tata usaha negara kepada Mahkamah Agung. Demikian pula pengadilan agama dan militer (yang semula penanganan administrasi, personel, dan keuangannya ada pada Kementerian Agama dan Markas Besar TNI). Kita juga membentuk Mahkamah Konstitusi dengan berbagai kewenangan antara lain untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait