Mempertanyakan Gagasan Debt Collector Bersertifikat
Terbaru

Mempertanyakan Gagasan Debt Collector Bersertifikat

Dalam POJK 35/POJK.05/2018 mengatur kerja sama dengan pihak ketiga yang antara lain memiliki memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Rencana mengharuskan jasa penagih utang atau debt collector mengantongi sertifikat profesi dalam menjalankan tugas penagihan kepada debitur menimbulkan pertanyaan dari kalangan parlemen. Salah satunya, pihak atau otoritas yang menerbitkan sertifikat yang membutuhkan payung hukum untuk mengaturnya.

Anggota Komisi XI DPR Wihadi Wiyanto mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bakal mewajibkan jasa penagih utang atau debt collector mengantongi sertifikat profesi untuk menagih utang menjadi pertanyaan. Sebab, perlu adanya otoritas lembaga yang berwenang menerbitkan sertifikat profesi. “Lalu siapa yang mengeluarkan sertifikat itu?” ujar Wihadi dalam keterangannya kepada wartawan di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (28/7/2021).

Menurutnya, sertifikat profesi yang diterbitkan otoritas berwenang harus jelas. OJK sendiri tak memiliki kewenangan atau hak mengatur masalah sertifikat bagi para jasa penagih utang. Dalam aturan manapun termasuk UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tak ada kewenangan OJK mengeluarkan atau menerbitkan sertifikat bagi debt collector. Seharusnya OJK ketika menggagas sesuatu yang berdampak terhadap profesi berdasarkan aturan yang berlaku.

“Jadi saya kira sebelum OJK menyatakan adanya satu sertifikat harus diperjelas dulu siapa mengeluarkan sertifkatnya. Apa sertifikat itu dikeluarkan OJK bahwa dia sebagai debt collector, apakah itu ada diatur dalam UU OJK boleh mengeluarkan sertifikat debt collector?”

Politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menilai tindakan yang kerap dilakukan debt collector kerapkali banyak melanggar aturan dalam melakukan jasa penagihan. Apalagi, dalam menagih utang tak sedikit dengan melakukan penyitaan barang. Bahkan, ada pula yang merampas barang. Padahal, setiap perjanjian pinjam meminjam disertai dengan jaminan fidusia.  

Karena itulah perlu diperjelas terlebih dahulu kewenangan debt collector untuk mengambil barang sebagai upaya penyitaan. Menurutnya, dalam Peraturan OJK (POJK) No.35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan hanya mengatur kerja sama dengan pihak ketiga dalam penagihan. Namun tidak mengatur penyitaan yang dilakukan debt collector.

“Jadi saya hanya menggarisbawahi bahwa sertifikat profesi itu, apa yang dimaksud sertifikat itu menurut OJK. Jadi jangan membuat masyarakat tambah bingung lagi dan juga debt collector nanti akan membuat sertifikat-sertifikat sendiri,” kata Wihadi. (Baca Juga: Menagih Utang dengan Cara Intimidasi? Pelajaran Penting dari Dua Putusan Pengadilan)

Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR itu meminta pejabat OJK agar tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan ke publik. Dia khawatir pernyataan OJK malah dianggap sebagai hal yang legal bagi debt collector. Sebab, mengantongi sertifikat bukan berarti boleh sembarangan menyita barang debitur dalam melakukan penagihan. Tata cara penyitaan sudah ada aturannya sendiri. “Dan itu hanya dilakukan penyidik (Polri, red) yang boleh melakukan penyitaan,” ujarnya.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK, Riswinandi Idris mengatakan keharusan debt collector membawa dokumen resmi saat melakukan penagihan cicilan kepada debitur menjadi upaya agar citra industri pembiayaan menjadi lebih baik. Sejumlah dokumen yang mesti dibawa antara lain kartu identitas, sertifikat profesi, surat tugas, dan bukti jaminan fidusia.

“Dalam pelaksanaan penagihan kendaraan, perusahaan harus memastikan bahwa petugas penagih telah dibekali beberapa dokumen,” ujarnya dalam webinar sebagaimana dikutip dari Antara.

Pengaturan kerja sama perusahaan pembiayaan dengan pihak ketiga diatur dalam Pasal 48 ayat (1) POJK 35/POJK.05/2018 yang menyebutkan, Perusahaan Pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada Debitur”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Perusahaan Pembiayaan wajib menuangkan kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk perjanjian tertulis bermeterai”.

Sedangkan ayat (3) menyebutkan, “Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pihak lain tersebut berbentuk badan hukum; b. pihak lain tersebut memiliki izin dari instansi berwenang; dan c. pihak lain tersebut memiliki sumber daya manusia yang telah memperoleh sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang pembiayaan”.

Menurutnya, dokumen tersebut harus dibawa saat melakukan penagihan ke pihak debitur sebagai bagian dalam memperkuat aspek legalitas. Riswinandi tak menampik debt collector memiliki citra yang buruk di masyarakat. Masyarakat pun memandang sebelah mata profesi jasa penagihan tersebut. Sebab, kerapkali menggunakan cara-cara kekerasan verbal, bahkan fisik.

Kendatipun kerja sama dengan pihak ketiga dalam melakukan penagihan diatur dalam POJK 35/POJK.05/2018, namun perusahaan pembiayaan sebagai pihak kreditur harus mengevaluasi atas kebijakan dan prosedur penagihan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Bahkan perusahaan pembiayaan pun diperbolehkan memberikan sanksi terhadap pihak ketiga yang terbukti melakukan pelanggaran aturan.

Riswinandi yang juga merangkap sebagai anggota Dewan Komisioner OJK itu mengimbau debt collector menghindari hal-hal yang berpotensi menimbulkan risiko hukum saat proses penarikan. Antara lain menggunakan ancaman, tindakan yang bersifat memalukan, dan penggunaan tekanan secara fisik dan verbal. “Jika hal tersebut dilakukan tentu ada potensi hukum pidana maupun sosial dan stigma negatif dari masyarakat terhadap industri dan pembiayaan khususnya,” katanya.

Tags:

Berita Terkait