Tak sedikit warga negara Indonesia yang terjerat kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dalam perkara TPPO yang belakangan ramai mendapat sorotan publik yakni modus penjualan ginjal di Kamboja. Penanganan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam kasus TPPO menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil karena selama ini hanya menyasar pelaku lapangan, bukan aktor intelektual.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu, mencatat dalam perkara jual ginjal ke Kamboja aparat Polda Metro Jaya telah menetapkan 12 orang tersangka. Terdiri dari 9 orang sindikat dalam negeri yang berperan merekrut, menampung, dan mengurus perjalanan korban. Kemudian 1 orang tersangka berperan sebagai penghubung korban dengan Rumah Sakit (RS) di Kamboja dan 2 sisanya merupakan oknum instansi Polri dan Imigrasi
“Namun, ada terduga pelaku yang dikenal dengan nama Miss Huang, berperan sebagai koordinator dari 12 tersangka tersebut, yang saat ini masih dalam status daftar pencarian orang (DPO),” kata Erasmus dikonfirmasi, Jumat (28/7/2023).
Baca juga:
- Mengenal Lebih Dekat Tindak Pidana Perdagangan Orang
- Penyidik Diminta Terapkan UU Pemberantasan TPPO Kasus Perdagangan Orang ke Myanmar
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan ICJR mengenai evaluasi kerangka hukum TPPO dan bentuk eksploitasi lain, pria yang disapa Eras itu menyebut acapkali kasus penegakan hukum TPPO menyertakan DPO tapi tidak jelas tindaklanjutnya. Penyidik harusnya aktif merespon pernyataan tersangka lain yang menyebut tidak mengenal DPO bernama Miss Huang tersebut dan jaksa harus menjamin tindak lanjut terhadap DPO tersebut.
Seperti banyak kasus perdagangan orang lainnya, Eras mencatat pada kasus ini aparat kepolisian hanya berhasil menjerat pelaku lapangan dalam sindikat TPPO. Sementara itu, sosok Miss Huang sebagai koordinator 12 orang tersangka tersebut, belum diungkap.
Sekalipun dalam penelitian ICJR ditemukan batasan dalam kerangka hukum TPPO utamanya untuk menjerat perbuatan untuk tujuan eksploitasi di luar negeri, Eras menegaskan Pasal 2 UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bisa digunakan dengan menjerat potensi eksploitasi di dalam negeri. Dengan begitu, aktor intelektual bisa dijerat.