Mendorong Penerapan Asset Recovery dalam Pemberantasan Korupsi
Terbaru

Mendorong Penerapan Asset Recovery dalam Pemberantasan Korupsi

Jumlah asset recovery KPK tahun 2021 mengalami peningkatan dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Dia menerangkan RUU tersebut memang sudah berusia 12 tahun yang hingga kini belum dibahas-bahas. Hal ini disebabkan terdapat poin yang belum disepakati. Misalnya, tentang siapa pihak yang bakal menyimpan dan mengelola hasil rampasan aset tindak pidana. Kala itu, terdapat tiga alternatif.

Pertama, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kedua, Pusat Pemulihan Aset (PPA) di bawah Kejaksaan Agung. Ketiga, Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaaan Negara (DJKN) di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu)

“Sekarang sudah ada kesatuan pendapat. Tinggal membahas itu saja kalau tidak ada masalah-masalah lain di luar masalah teknis lain,” ujarnya.

Secara terpisah, Direktur Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mungki Hadipraktito mengatakan selama ini kewenangan penegak hukum dalam perampasan aset terbatas. Meski terdapat UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun proses eksekusi aset membutuhkan waktu panjang, mulai tahap penyelidikan hingga eksekusi setidaknya membutuhkan waktu dua tahun.

“Ini prosesnya cukup melelahkan. Perampasan aset tidak bisa berdiri sendiri karena ada menyelesaikan tindak pidananya (asalnya, red) dulu,” ujar Mungki dalam diskusi bertajuk “Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana”.

Dia menerangkan selama ini terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perampasan aset. Seperti, dalam Pasal 10 KUHP, perampasan aset masuk dalam pidana tambahan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tak hanya itu, pengaturan perampasan aset tanpa pemidanaan, seperti Pasal 67 UU 8/2010 jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Kemudian Pasal 32, 33, dan 34 UU 31/1999 melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Namun demikian, bagi aparat penegak hukum pengaturan dalam proses tersebut masih dirasa belum cukup fleksibel. Karena itu, dibutuhkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana penting untuk dapat disahkan menjadi UU sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum.

Tags:

Berita Terkait