Mendorong Penerapan Asset Recovery dalam Pemberantasan Korupsi
Terbaru

Mendorong Penerapan Asset Recovery dalam Pemberantasan Korupsi

Jumlah asset recovery KPK tahun 2021 mengalami peningkatan dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES

Korupsi sebagai extra ordinary crime secara nyata telah menimbulkan kerugian bagi negara dan dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, upaya penegakan hukumnya pun harus benar-benar memberikan efek jera para pelaku agar kejahatan serupa tak kembali terulang dan menjadi pembelajaran bagi publik.

Selain itu, dengan besarnya kerugian negara yang telah ditimbulkan maka penegakan hukum tindak pidana korupsi juga penting untuk bisa menjadi instrumen pemulihan atas kerugian tersebut. KPK melalui tugas penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan, senantiasa mengedepankan optimalisasi pemulihan kerugian keuangan negara melalui perampasan aset hasil tindak pidana korupsi atau asset recovery.

Jika berbasis pada data, KPK tercatat terus konsisten mengoptimalkan asset recovery melalui pendekatan strategi penindakan. Dalam 8 tahun terakhir, KPK mencatat jumlah perampasan asset dari penanganan tindak pidana korupsi sebagai berikut; Rp 107 miliar (2014), Rp 193 miliar (2015), Rp 335 miliar (2016), Rp 342 miliar (2017), Rp 600 miliar (2018), Rp 468 miliar (2019), Rp 294 miliar (2020), Rp 374 miliar (2021). (Baca: Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan Kasus Korupsi yang Curi Perhatian di 2021)

“Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah asset recovery KPK tahun 2021 mengalami peningkatan jika kami bandingkan dengan capaian tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp 80 miliar atau 27 persen. Asset recovery ini sebagai wujud sumbangsih KPK kepada pembangunan nasional. Karena asset recovery KPK akan menjadi PNBP sebagai salah satu sumber pembiayaan negara dalam membangun bangsa, negara, demi mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia,” jelas Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Senin (3/1).

Ali menyampaikan KPK menyadari pencapaian tersebut hasil sinergi dan kolaborasi semua pihak, K/L, Aparat Penegak Hukum, Pemerintah Daerah, para pelaku usaha, dan seluruh elemen masyarakat.Perlu diketahui, KPK baru saja menyita uang senilai Rp 100 miliar dari tersangka kasus dugaan korupsi PT ME dalam kasus dugaan korupsi terkait pembahasan dan pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA K/L) APBN Perubahan 2016 untuk Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI.

"Tim penyidik dalam penyidikan ini telah menyita uang sekitar Rp100 miliar yang berada di beberapa rekening bank yang diduga terkait dengan perkara," ujar Ali.

Dalam artikel Hukumonline sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD menyampaikan pemerintah telah menyiapkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana untuk memudahkan aparat penegak hukum mengambil alih aset terpidana yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Baginya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana jauh lebih mudah dipraktikan nantinya, dikarenakan sudah terdapat tindak pidana asal.

Dia menerangkan RUU tersebut memang sudah berusia 12 tahun yang hingga kini belum dibahas-bahas. Hal ini disebabkan terdapat poin yang belum disepakati. Misalnya, tentang siapa pihak yang bakal menyimpan dan mengelola hasil rampasan aset tindak pidana. Kala itu, terdapat tiga alternatif.

Pertama, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kedua, Pusat Pemulihan Aset (PPA) di bawah Kejaksaan Agung. Ketiga, Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaaan Negara (DJKN) di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu)

“Sekarang sudah ada kesatuan pendapat. Tinggal membahas itu saja kalau tidak ada masalah-masalah lain di luar masalah teknis lain,” ujarnya.

Secara terpisah, Direktur Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi (Labuksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mungki Hadipraktito mengatakan selama ini kewenangan penegak hukum dalam perampasan aset terbatas. Meski terdapat UU No.8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), namun proses eksekusi aset membutuhkan waktu panjang, mulai tahap penyelidikan hingga eksekusi setidaknya membutuhkan waktu dua tahun.

“Ini prosesnya cukup melelahkan. Perampasan aset tidak bisa berdiri sendiri karena ada menyelesaikan tindak pidananya (asalnya, red) dulu,” ujar Mungki dalam diskusi bertajuk “Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana”.

Dia menerangkan selama ini terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perampasan aset. Seperti, dalam Pasal 10 KUHP, perampasan aset masuk dalam pidana tambahan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tak hanya itu, pengaturan perampasan aset tanpa pemidanaan, seperti Pasal 67 UU 8/2010 jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Atau Tindak Pidana Lain. Kemudian Pasal 32, 33, dan 34 UU 31/1999 melalui gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Namun demikian, bagi aparat penegak hukum pengaturan dalam proses tersebut masih dirasa belum cukup fleksibel. Karena itu, dibutuhkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana penting untuk dapat disahkan menjadi UU sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum.

Tags:

Berita Terkait