Mendorong Revisi Pasal Living Law dalam KUHP Baru
Terbaru

Mendorong Revisi Pasal Living Law dalam KUHP Baru

Tujuannya agar tidak bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana diatur Pasal 1 KUHP baru.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Prof Andi Hamzah. Foto: Tangkapan layar youtube.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Prof Andi Hamzah. Foto: Tangkapan layar youtube.

Nasib KUHP warisan kolonial Belanda bakal tidak berlaku setelah UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diterbitkan dalam waktu tiga tahun ke depan.. Kendati beleid itu terbit 2 Januari 2023, tapi ada pandangan yang menilai sebagian pasal dalam KUHP perlu direvisi.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof Andi Hamzah, mengatakan asas legalitas sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (1) KUHP sangat penting. Pasal 1 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Asas tersebut menurut Prof Andi dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP. Tapi Pasal 2 ayat (1) KUHP mengatur tentang hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan seseorang patut dipidana walau perbuatan tersebut tidak diatur dalam KUHP. Menurut Prof Andi Pasal 2 KUHP yang mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat atau living law itu jelas menganulir asas legalitas. Kemudian asas legalitas dihidupkan kembali dalam pasal 2 ayat (3) dengan mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Pakar hukum acara pidana itu menyarankan Pasal 2 KUHP direvisi agar tidak bertentangan dengan asas legalitas. “Daerah otonom berwenang mengatur pidana di daerahnya masing-masing. Pasal 2 KUHP ini harus diluruskan,” katanya dalam kegiatan Forum Sosialisasi KUHP bertema ‘Membumikan KUHP dalam Kancah Nasional’, Selasa (6/6/2023).

Baca juga:

Pasal 2 KUHP diusulkan diubah menjadi daerah-daerah otonom berwenang menentukan Peraturan Daerah (Perda) yang mencantumkan pidana mengenai hukum yang hidup atau hukum adat yang berlaku di daerah masing-masing yang mulai berlaku sejak disahkan DPR. Selaras itu, Pasal 96 ayat (1) KUHP dihapus dan ayat (2), (3), dan (4) disesuaikan. Melalui revisi itu kalangan yang ingin memberlakukan living law tidak melanggar asas legalitas.

Soal ketentuan kohabitasi sebagaimana diatur Pasal 412 KUHP Prof Andi melihat ancaman pidananya lebih ringan daripada zina. Mengacu pandangan pakar hukum adat Prof Hazairin, sedikitnya ada 3 daerah yang membiarkan kohabitasi karena dianggap urusan masing-masing yakni Bali, Minahasa, dan Mentawai. Prof Andi mengusulkan agar ketentuan ini diatur melalui Perda yang berlaku hanya di daerah masing-masing.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait