Mendorong Revisi Pasal Living Law dalam KUHP Baru
Terbaru

Mendorong Revisi Pasal Living Law dalam KUHP Baru

Tujuannya agar tidak bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana diatur Pasal 1 KUHP baru.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Dalam kesempatan yang sama Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo, menjelaskan asas legalitas sebagaimana diatur pasal 1 ayat (1) KUHP tetap diakui. Sekaligus mengakui keberadaan living law sebagai dasar untuk memidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP.

Kendati mengakui living law, Prof Tuti menegaskan bukan berarti hukum adat langsung berubah menjadi hukum pidana. Ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi antara lain hukum adat hanya berlaku di tempat hukum itu hidup. Ketentuan yang diatur dalam hukum adat tidak diatur dalam KUHP sehingga tidak ada duplikasi. Hukum adat itu juga harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, konstitusi tahun 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui bangsa.

“Kalau ada delik hukum adat yang tidak sesuai dengan kriteria itu maka tidak boleh dilaksanakan,” ujarnya.

Hukum adat yang berlaku harus ditetapkan terlebih dulu dalam Perda berdasarkan hasil penelitian empiris. Ancaman sanksi untuk tindak pidana adat dibatasi besarannya yakni setara dengan denda kategori II dalam KUHP atau Rp10 juta.

Sementara pakar hukum pidana FH Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda, berpendapat Pasal 597 KUHP hanya menegaskan sanksi pidana bagi setiap orang yang melakukan perbuatan menurrut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Delik hukum adat yang dimaksud tercantum dalam Perda sebagaimana ketentuan Pasal 2 KUHP.

“Rumusan delik pidananya ada di Perda dan KUHP hanya menegaskan sanksi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait