Menelisik Penerapan Perampasan Aset dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
Terbaru

Menelisik Penerapan Perampasan Aset dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

RUU Perampasan Aset bila sudah disahkan menjadi UU dan menjadi payung hukum dalam dalam penegakan hukum terhadap kasus yang melibatkan dana besar. Seperti korupsi, narkotika, perdagangan manusia, kerusakan lingkungan bahkan perjudian.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Dia mencontohkan kasus sindikat penipuan online, judi online, jaringan narkoba pelakunya tidak muncul namun uang hasil kejahatannya dapat ditelusuri. Fithriadi menilai, melalui RUU Perampasan Aset, negara dapat merampas aset meski tindak pidananya telah memasuki masa kedaluwarsa.  

“Kalau waktu terjadinya (pidana) jauh misalnya 30 tahun sebelumnya maka yang bersangkutan tidak bisa dipidanakan kalau menuntut kasusnya tersebut. Sementara asetnya terus ada, karena itu kalau punya RUU Perampasan Aset kita punya alternatif lain,” imbuhnya.

Fithriadi melanjutkan, pihak yang keberatan karena asetnya dirampas negara dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan. Hal tersebut untuk memberi rasa keadilan dan melindungi hak masyarakat. Bahkan, proses pemidanaan pelaku harus didahulukan dan menjadikan proses non-conviction based sebagai alternatif.

“Yang jelas kalau ada RUU Perampasan Aset jadi punya alternatif lain. Kami dorong penyidik start-nya pemidanaan,” tegas Fithriadi.

Terpisah, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan Indonesia dinilai tertinggal 17 tahun karena tidak kunjung mengesahkan RUU Perampasan Aset. Seharusnya, RUU tersebut telah disahkan sejak Indonesia meratifikai perjanjian internasional dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.

Dia menjelaskan, salah satu poin penting dalam perjanjian internasional tersebut yaitu pemulihan aset dari hasil tindak kejahatan. Menurutnya, dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, perampasan aset tidak didasarkan pada tindak pidana. Dengan kata lain, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang disodorkan pemerintah ke DPR merupakan non-conviction yang berarti tidak ada tindak pidananya maupun putusan pidananya.

“Kalau yang ada tindak pidananya sudah ada di UU Tipikor dan UU eksisting. Ini (non-conviction) betul-betul sesuatu yang belum diatur sama sekali,” ujarnya dalam diskusi daring bertema ‘Akselerasi Reformasi Hukum dengan Penyusunan UU Perampasan Aset’.

Perampasan aset tanpa pemidanaan alias non-convition based asset forfeiture merupakan konsep pengembalian kerugian negara yang kali pertama berkembang di negara penganut sistem hukum common law. Tujuan penerapan asas ini, setidaknya agar upaya perampasan aset hasil tindak pidana seperti korupsi secara maksimal telah dilakukan, serta tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Tapi penggunaan asas tersebut terhambat akibat ketiadaan reglasi yang menjadi payung hukum asas tersebut.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada itu  berpendapat, terdapat hambatan dari pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yaitu komitmen dari pembuat kebijakan. Maklum, keberadaan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sudah digagas sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono, namun baruu bergerak maju di era pemerintahan Joko Widodo.

“Pada pemerintahan kali ini berkomitmen untuk segera dibahas dan disahkan. Artinya tidak ada keraguan bagi kita bersama dari political will pemerintah,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait