Menelusuri Jejak Klien Pro Bono di Kantor-Kantor Hukum
Pro Bono Champions 2019

Menelusuri Jejak Klien Pro Bono di Kantor-Kantor Hukum

Masih didominasi permintaan dari anggota keluarga atau teman. Tidak tampak sinergi pemerataan jasa pro bono oleh organisasi advokat, Lembaga Bantuan Hukum, dan Pengadilan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Menelusuri Jejak Klien Pro Bono di Kantor-Kantor Hukum
Hukumonline

Salah satu tantangan pelaksanaan pro bono adalah dukungan dari kantor-kantor hukum. Meskipun pro bono melekat individu advokat, Hukumonline meyakini bahwa dukungan dari kantor hukum tempat para advokat bekerja sangatlah berpengaruh. Tentu saja dugaan itu tidak meniadakan para advokat yang bekerja seorang diri dalam praktik.

 

“Kami berharap dengan keterlibatan kantor hukum dan advokat dalam pro bono ikut mendorong mempermudah access to justice bagi masyarakat yang membutuhkan,” kata Pemimpin Redaksi Hukumonline, Fathan Qorib, dalam acara Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions di Jakarta, Rabu (11/12) malam.

 

Berdasarkan survei Hukumonline Awards 2019 Pro Bono Champions, ada 5 kantor hukum yang  bekerja seorang diri dalam praktik. Kelima kantor hukum ini menjalankan kantornya sambil menunaikan pro bono seorang diri. Di sisi lain, kantor hukum dengan jumlah advokat pelaku pro bono terbanyak ada pada Ali Budiardjo Nugroho Reksodiputro Counsellors at Law (ABNR). Ada 39 advokat dari ABNR yang menunaikan pro bono dari total 100 advokat yang dimiliki.

 

Baca:

 

Sebanyak 56 kantor hukum responden memberikan layanan pro bono untuk kegiatan litigasi dan non litigasi. Jumlah tersebut adalah 80% dari seluruh responden. Ada 8 kantor hukum yang hanya melakukan pro bono non litigasi dan 6 kantor hukum sisanya hanya melakukan pro bono litigasi.

 

Aktivitas pro bono non litigasi paling banyak dilakukan adalah konsultasi hukum. Disusul berturut-turut oleh penyelesaian sengketa di luar pengadilan serta penyuluhan hukum. Sedangkan besarnya pro bono litigasi pidana dan perdata dilakukan sama banyak.

 

Sumber permintaan terbesar dalam melaksanakan praktik pro bono yaitu 62,9% ternyata masih dari anggota keluarga atau teman. Disusul seimbang oleh klien pro bono yang datang sendiri atau dirujuk oleh klien komersial masing-masing sebesar 61,4%.

 

Setelah itu baru ada 35,7% yang mendapat permintaan pro bono dari Lembaga Bantuan Hukum dan sebanyak 34,3% dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Perlu menjadi catatan khusus bahwa hanya ada 20% yang mendapatkan permintaan pro bono lewat program pro bono organisasi advokat. Di sisi lain, permintaan pro bono dari hakim atau pengadilan menjadi yang paling kecil sebesar 14,3%.

 

Hukumonline.com

 

Kecilnya permintaan pro bono dari organisasi advokat seolah membenarkan penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI). Peran dan komitmen organisasi advokat dalam menggiatkan pro bono oleh anggotanya masih lemah. Padahal profesi advokat berwenang mengatur diri secara mandiri sejak lahirnya UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

 

Hasil penelitian MaPPI FHUI berjudul Pro Bono: Prinsip dan Praktik di Indonesia menguraikan fakta tidak jauh berbeda. Faktanya, ketentuan internal organisasi advokat hanya sekadar menganjurkan untuk melaksanakan pro bono.

 

Tidak ada ketegasan mengenai akibat apa yang akan diterima advokat jika tidak menjalankan praktik pro bono. Organisasi advokat pun melepaskan tanggung jawab pelaksanaan pro bono kepada individu anggotanya.

 

Banyak usulan agar organisasi advokat aktif mengorganisir, menampung calon klien pro bono, mengelola administrasi informasinya, lalu ditawarkan ke kantor-kantor hukum. Organisasi advokat diharapkan menjadi kanal penghubung yang efektif antara pencari keadilan dengan para advokat yang akan menangani pro bono.

 

Organisasi advokat bisa berperan lebih baik agar tanggung jawab pro bono tiap anggotanya tersalurkan kepada pihak yang membutuhkan. Apalagi organisasi advokat yang paling tahu jumlah dan persebaran anggotanya. Hal itu seharusnya bisa sangat berguna untuk mengefektifkan strategi pelaksanaan pro bono.

 

Lembaga lain yang diperkirakan bisa bersinergi atas pemerataan jasa pro bono adalah Lembaga Bantuan Hukum dan Pengadilan. Namun data menunjukkan jumlahnya tidak besar bahkan paling kecil. Tercatat bahwa penerima kegiatan pro bono sebesar 88,6% adalah individu. Disusul penerima penerima sebagai organisasi sebesar 44,3% dan sebagai kelompok masyarakat berkebutuhan khusus sebesar 35,7 %.

 

Perlu diingat, klien individu adalah orang perorangan yang tidak mampu baik secara ekonomi ataupun sosial dan politik. Sedangkan Organisasi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat nonpemerintah, perusahaan, perguruan tinggi/universitas, dan lembaga pemerintah.

 

Sedangkan kelompok Masyarakat Berkebutuhan Khusus adalah kelompok masyarakat yang kurang memiliki akses terhadap keadilan dan bantuan hukum. Misalnya perempuan, anak-anak, buruh migran, masyarakat adat, korban pelanggaran hak asasi manusia berat, dan disabilitas.

 

Sebanyak 87,1% responden menyebutkan alasan praktik pro bono mereka karena kewajiban moral advokat sebagai Officium Nobile. Konsisten dengan hasil survei tahun 2018 lalu sebesar 81%. Secara keseluruhan, potret pro bono di tahun 2019 tidak jauh berbeda dengan hasil survei di tahun 2018.

Tags:

Berita Terkait