Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar
Kolom

Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar

Salah satu cara untuk menjaga kredibilitas dan integritas arbiter adalah bagaimana seorang arbiter dapat berani menolak suatu perkara bilamana isu kepercayaan akan berpotensi besar muncul.

Bacaan 7 Menit

Secara praktis, pihak yang digagalkan pengajuan hak ingkarnya biasanya mengajukan lagi hak ingkarnya kepada Pengadilan Negeri atau nantinya putusan arbitrase yang dihasilkan akan diajukan pembatalan. Padahal, seharusnya pengingkaran dalam konteks hukum acara arbitrase BANI, tidak diajukan lagi ke Pengadilan Negeri.

Ketika arbiter yang diingkari tetap melanjutkan tugasnya sebagai arbiter, kami meyakini bahwa prinsip kepercayaan tidak akan dapat berjalan dengan baik selama proses arbitrase. Sebab, dasar-dasar pengajuan arbitrase sangat berkaitan dengan prinsip kepercayaan.

Hubungan antara Prinsip Kepercayaan dan Hak Ingkar

Hak ingkar memiliki keterkaitan yang kuat dengan prinsip kepercayaan. Hal ini terlihat jelas dari dasar-dasar pengajuan hak ingkar yang tidak menuntut adanya bukti 100% telah terjadi imparsialitas. Baru muncul kekhawatiran di masa depan akan berpotensi terjadinya imparsialitas saja sudah dapat menjadi dasar mengajukan hak ingkar.

Berbeda halnya dengan pembatalan yang menuntut adanya bukti-bukti faktual telah terjadi seperti bukti pemalsuan, bukti penyembunyian, dan bukti tipu muslihat, sehingga tindakan parsial (memihaknya) atau penyalahgunaannya sudah terjadi atau aktus. Beberapa dasar pengajuan hak ingkar, terkhusus dalam konteks etika, dapat secara sistematis dirujuk ke ketentuan Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Arbiter BANI yang dihubungkan juga dengan UU Arbitrase dan APS dalam kaitannya menghindari konflik kepentingan.

Pasal pertama yang paling jelas untuk dirujuk adalah Pasal 5 tentang Sikap Arbiter. Sebelum pemeriksaan dilakukan, arbiter yang ditunjuk harus menyampaikan kepada Dewan Pengurus BANI, apakah dirinya memiliki konektivitas baik dengan perkara yang sedang dipegang maupun dengan subjek yang berperkara. Tidak boleh ada potensi bias.

Selanjutnya, dalam pemeriksaan dan persidangan, putusan yang dijatuhkan tidak boleh tercemar dari kepentingan pribadi atau pihak. Pertimbangan hukum yang diajukan harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang logis, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, setelah putusan disampaikan, arbiter tidak dibenarkan menunjukkan gestur simpati atau antipati kepada para pihak, baik secara ucapan ataupun tingkah laku.

Imparsialitas ini juga terkandung dalam Pasal 6 terkait dengan Kewajiban dan Larangan. Pada prinsipnya, arbiter harus memperlakukan para pihak yang bersengketa secara seimbang dengan tidak memihak (audi et alteram partem). Ada beberapa konteks larangan lain yang secara jelas bertentangan dengan prinsip imparsialitas, seperti kolusi, gratifikasi, meminta ditunjuk sebagai arbiter.

Tags:

Berita Terkait