Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar
Kolom

Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar

Salah satu cara untuk menjaga kredibilitas dan integritas arbiter adalah bagaimana seorang arbiter dapat berani menolak suatu perkara bilamana isu kepercayaan akan berpotensi besar muncul.

Bacaan 7 Menit

Tetapi, ada juga konteks-konteks hubungan antara arbiter yang mungkin tidak dapat secara langsung dinilai namun tetap memunculkan isu trust, seperti: memiliki hubungan (saudara, kerabat, atau lainnya) dengan salah satu pihak, pernah menjadi konsultan hukum dalam kasus yang lain dalam jangka waktu tertentu. Pertanyaannya adalah apakah serta merta kedua contoh tersebut menjadikan seorang arbiter tidak dapat bertindak secara objektif dan imparsial. Jawabannya belum tentu, tetapi ada isu trust yang menyebabkan pihak yang mengingkari ragu akan hasil dari proses arbitrase.

Ada dua unsur penting yang tampak dalam kepercayaan: (1) kerelaan; dan (2) ekspektasi. Kerelaan bisa muncul karena adanya rasionalisasi dan pertimbangan yang melahirkan rasa tenang ketika aktivitas yang dikerjakan diberikan kepada pihak yang dipercaya. Tenang karena adanya keyakinan atas kemampuan arbiter yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa serta integritas yang dimilikinya.

Secara paralel, kerelaan ini menyiratkan adanya suatu ekspektasi atau suatu hasil akhir yang diperoleh dari aktivitas yang dikerjakan oleh si yang dipercaya. Ekspektasi yang diharapkan, secara normatif, dalam arbitrase adalah selesainya sengketa secara objektif sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Seorang atau suatu perusahaan memilih arbiter dengan harapan dapat memberikan putusan yang baik. Bilamana salah satu pihak memiliki konektivitas atas dasar timbal balik atau persaudaraan, ada dugaan bahwa putusan parsial akan terjadi.

Ketika situasi demikian terjadi, suatu suasana yang tidak baik akan terjadi selama proses arbitrase. Selalu terdapat sak wasangka. Selama pemeriksaan, persidangan, hingga pembacaan putusan, prinsip kepercayaan sudah tidak berjalan dengan baik lagi. Pihak yang pengajuan hak ingkarnya ditolak berpotensi tidak akan menjalani proses persidangan dengan baik karena ada sikap apriori terhadap arbiter yang diingkari. Pada ujungnya, mekanisme yang digunakan biasanya adalah pembatalan dengan dalih telah terjadi tipu muslihat. Konektivitas dikaitkan dengan adanya kerjasama antar pihak dan arbiter dalam bentuk tipu muslihat.

Penulis melihat bahwa kredibilitas dan integritas arbiter menjadi salah satu faktor penentu dari penggunaan hak ingkar. Salah satu cara untuk menjaganya adalah bagaimana seorang arbiter dapat berani menolak suatu perkara bilamana isu kepercayaan akan berpotensi besar muncul. Hak ingkar memang bukan terkait pembuktian suatu tindakan penyalahgunaan yang telah terjadi, tetapi adanya dugaan yang berpotensi kuat dapat menyebabkan bias.

Apabila dibiarkan isu ini muncul selama proses persidangan, justru tidak akan mencapai nuansa arbitrase yang ideal. Ada baiknya, arbiter tidak perlu mengiyakan kasus seperti demikian sedari awal. Para pihak juga tidak boleh memilih arbiter-arbiter yang dapat membuat pihak lain khawatir kualitas putusan yang tidak objektif dan parsial. Ataupun bilamana diingkari, tidak perlu dilanjutkan menjadi arbiter dalam perkara tersebut.

*)Anangga W. Roosdiono adalah Ketua BANI Arbitration Centre serta seorang Advokat di Jakarta. Muhamad Dzadit Taqwa adalah Dosen Hukum dalam Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait