Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar
Kolom

Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar

Salah satu cara untuk menjaga kredibilitas dan integritas arbiter adalah bagaimana seorang arbiter dapat berani menolak suatu perkara bilamana isu kepercayaan akan berpotensi besar muncul.

Bacaan 7 Menit
Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga W. Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa
Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga W. Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa

Beberapa saat belakangan, banyak kuasa hukum yang menggunakan hak ingkar terhadap arbiter. Conflict of interest menjadi dasar yang paling umum dijadikan alas. Beberapa contohnya adalah arbiter yang ditunjuk: (1) memiliki suatu hubungan persaudaraan atau kekerabatan; (2) pernah mewakili sebagai kuasa hukum pihak yang menunjuk dalam perkara lain; atau (3) pernah menjadi pimpinan atau pengurus perusahaan yang sedang bersengketa.

Ujung yang diharapkan oleh pihak yang menggunakan hak ingkar adalah digantinya arbiter yang diingkari tersebut dengan arbiter yang lain. Dengan demikian, hak ingkar didudukkan sebagai mekanisme perlindungan hukum kepada para pihak saat masih dalam proses arbitrase. Berbeda dengan mekanisme pembatalan yang berada di ujung proses dan dapat membuat suatu putusan arbitrase menjadi tidak berlaku lagi, penggunaan hak ingkar tidak membuat terhapusnya karakteristik putusan arbitrase yang final dan mengikat.

Penulis hendak menyoroti adanya dua posibilitas respon dari arbiter yang diingkar, yakni menerima atau menolak. Padahal, kita perlu memperhatikan implikasi-implikasi tidak baik bilamana arbiter yang diingkari tersebut tetap menjalankan fungsinya sebagai arbiter, yakni tidak terjalankannya dengan baik prinsip kepercayaan (trust) sebagai salah satu prinsip utama dalam proses arbitrase dan kesia-siaan dari proses arbitrase.

Baca juga:

Hak Ingkar: Apa, Bagaimana, Mengapa

Hak ingkar terdiri dari dua kata, yaitu hak dan ingkar. Sebagai suatu hak, kuasa penggunaannya diserahkan kepada setiap pihak yang bersengketa dalam arbitrase, sehingga mereka dapat atau tidak menggunakannya. Sementara ingkar, asal katanya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah inkār (Arab) yang berarti sangkalan atau bantahan. Menyangkal berarti tidak mengakui atau tidak membenarkan, seperti kegiatan menangkis; ada variabel eksternal yang hendak masuk tetapi ditolak oleh internal subjek.

Dalam konteks ini, objek yang disangkal adalah eksistensi arbiter. Apapun yang disampaikan, diputus, dilakukan oleh arbiter tersebut (kita tempatkan sebagai variabel eksternal) ditolak agar tidak memiliki dasar hukum apapun kepada subjek/pihak yang mengingkari (kita tempatkan sebagai variabel internal). Sejatinya, apa yang diinginkan oleh pihak tersebut adalah mengganti arbiter tersebut dengan arbiter lain.

Konstruksi pengertian ini berguna karena UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS) tidak memberikan pengertian secara eksplisit mengenai hak ingkar. UU a quo langsung masuk ke dalam tahapan-tahapan hak ingkar dalam konteks arbitrase ad-hoc. Sementara dalam konteks arbitrase institusi, karena hak ingkar berkaitan dengan hukum acara, mekanisme hak ingkar yang diatur oleh institusi-lah, seperti Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI, yang diberlakukan.

Berdasarkan Pasal 23 jo. 24(5) UU Arbitrase dan APS, hak ingkar dapat diajukan kepada: (1) Pengadilan Negeri yang bersangkutan bilamana arbiter diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; (2) arbiter yang bersangkutan bilamana arbiter tunggal (yang ditunjuk langsung oleh para pihak); atau (3) majelis arbitrase yang bersangkutan terhadap anggota majelis.

Ada dua alasan pengajuan hak ingkar. Dua alasan tersebut secara substansi tidak jauh berbeda. Keduanya berkaitan dengan objektivitas arbiter dalam menjalani proses arbitrase untuk dapat menghasilkan putusan arbitrase yang baik. Pertama, pihak yang mengajukan hak ingkar ragu bahwa arbiter tidak melakukan tugasnya secara independen dan imparsial. Kedua, didapati bahwa arbiter memiliki hubungan kekeluargaan, rekan kerja, atau keuangan dengan pihak lainnya (vide Pasal 22 UU Arbitrase dan APS).

Setelah diajukan, terdapat dua kemungkinan hasil juga. Kemungkinan pertama, dalam hal tuntutan ingkar disetujui oleh pihak yang lain, arbiter tersebut harus mengundurkan diri sementara penggantinya ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku (vide Pasal 24(6) UU Arbitrase dan APS). Walaupun demikian, secara praktik, hal ini hampir tidak pernah terjadi karena pihak yang lain tidak mungkin menyetujui arbiter yang ditunjuknya kemudian diganti.

Kemungkinan kedua, apabila ternyata pihak yang lain tidak menyetujui dan arbiter tersebut tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukannya tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengeluarkan suatu putusan terkait hal ikhwal tersebut. Bilamana ditolak tuntutannya, arbiter melanjutkan tugasnya; bilamana diterima, arbiter pengganti harus diangkat.

Dalam konteks BANI, ketentuan mengenai pengingkaran diatur di dalam Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI Tahun 2022. Berdasarkan Pasal 12, pengajuan diajukan secara tertulis kepada Ketua BANI dengan juga menyertakan argumentasi serta bukti-bukti yang menjadi dasar pengajuan. Dasar yang diajukan dapat berkaitan dengan persoalan etik atau persoalan non-etik. Dalam konteks etik, Ketua BANI akan membentuk, secara ad-hoc, Komisi Kehormatan Arbiter untuk memeriksanya.

Pasal 12 dan pasal-pasal lainnya dalam Peraturan a quo sebenarnya tidak menspesifikkan dasar-dasar pengajuan hak ingkar. Pun dalam Pasal 13 terkait penggantian seorang arbiter, hanya disebutkan bahwa pengingkaran dapat menjadi alasan bagi arbiter untuk mengundurkan diri. Namun, biasanya ketika dasar pengajuannya berkaitan dengan etik, rujukannya ke Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Arbiter BANI. Pertentangan kepentingan adalah dasar utama untuk mengajukan pengingkaran.

Muara dari pengajuan tersebut juga berupa penerimaan atau penolakan. Penerimaan terjadi bilamana Ketua BANI menilai bahwa pengajuan pengingkaran berdasar, serta arbiter yang diingkari setuju untuk mundur. Akan tetapi, bilamana Ketua BANI menilai sebaliknya, arbiter yang diingkari tersebut harus melanjutkan tugasnya sebagai arbiter, sehingga tidak dilakukan pergantian arbiter.

Secara praktis, pihak yang digagalkan pengajuan hak ingkarnya biasanya mengajukan lagi hak ingkarnya kepada Pengadilan Negeri atau nantinya putusan arbitrase yang dihasilkan akan diajukan pembatalan. Padahal, seharusnya pengingkaran dalam konteks hukum acara arbitrase BANI, tidak diajukan lagi ke Pengadilan Negeri.

Ketika arbiter yang diingkari tetap melanjutkan tugasnya sebagai arbiter, kami meyakini bahwa prinsip kepercayaan tidak akan dapat berjalan dengan baik selama proses arbitrase. Sebab, dasar-dasar pengajuan arbitrase sangat berkaitan dengan prinsip kepercayaan.

Hubungan antara Prinsip Kepercayaan dan Hak Ingkar

Hak ingkar memiliki keterkaitan yang kuat dengan prinsip kepercayaan. Hal ini terlihat jelas dari dasar-dasar pengajuan hak ingkar yang tidak menuntut adanya bukti 100% telah terjadi imparsialitas. Baru muncul kekhawatiran di masa depan akan berpotensi terjadinya imparsialitas saja sudah dapat menjadi dasar mengajukan hak ingkar.

Berbeda halnya dengan pembatalan yang menuntut adanya bukti-bukti faktual telah terjadi seperti bukti pemalsuan, bukti penyembunyian, dan bukti tipu muslihat, sehingga tindakan parsial (memihaknya) atau penyalahgunaannya sudah terjadi atau aktus. Beberapa dasar pengajuan hak ingkar, terkhusus dalam konteks etika, dapat secara sistematis dirujuk ke ketentuan Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Arbiter BANI yang dihubungkan juga dengan UU Arbitrase dan APS dalam kaitannya menghindari konflik kepentingan.

Pasal pertama yang paling jelas untuk dirujuk adalah Pasal 5 tentang Sikap Arbiter. Sebelum pemeriksaan dilakukan, arbiter yang ditunjuk harus menyampaikan kepada Dewan Pengurus BANI, apakah dirinya memiliki konektivitas baik dengan perkara yang sedang dipegang maupun dengan subjek yang berperkara. Tidak boleh ada potensi bias.

Selanjutnya, dalam pemeriksaan dan persidangan, putusan yang dijatuhkan tidak boleh tercemar dari kepentingan pribadi atau pihak. Pertimbangan hukum yang diajukan harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang logis, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, setelah putusan disampaikan, arbiter tidak dibenarkan menunjukkan gestur simpati atau antipati kepada para pihak, baik secara ucapan ataupun tingkah laku.

Imparsialitas ini juga terkandung dalam Pasal 6 terkait dengan Kewajiban dan Larangan. Pada prinsipnya, arbiter harus memperlakukan para pihak yang bersengketa secara seimbang dengan tidak memihak (audi et alteram partem). Ada beberapa konteks larangan lain yang secara jelas bertentangan dengan prinsip imparsialitas, seperti kolusi, gratifikasi, meminta ditunjuk sebagai arbiter.

Tetapi, ada juga konteks-konteks hubungan antara arbiter yang mungkin tidak dapat secara langsung dinilai namun tetap memunculkan isu trust, seperti: memiliki hubungan (saudara, kerabat, atau lainnya) dengan salah satu pihak, pernah menjadi konsultan hukum dalam kasus yang lain dalam jangka waktu tertentu. Pertanyaannya adalah apakah serta merta kedua contoh tersebut menjadikan seorang arbiter tidak dapat bertindak secara objektif dan imparsial. Jawabannya belum tentu, tetapi ada isu trust yang menyebabkan pihak yang mengingkari ragu akan hasil dari proses arbitrase.

Ada dua unsur penting yang tampak dalam kepercayaan: (1) kerelaan; dan (2) ekspektasi. Kerelaan bisa muncul karena adanya rasionalisasi dan pertimbangan yang melahirkan rasa tenang ketika aktivitas yang dikerjakan diberikan kepada pihak yang dipercaya. Tenang karena adanya keyakinan atas kemampuan arbiter yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa serta integritas yang dimilikinya.

Secara paralel, kerelaan ini menyiratkan adanya suatu ekspektasi atau suatu hasil akhir yang diperoleh dari aktivitas yang dikerjakan oleh si yang dipercaya. Ekspektasi yang diharapkan, secara normatif, dalam arbitrase adalah selesainya sengketa secara objektif sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Seorang atau suatu perusahaan memilih arbiter dengan harapan dapat memberikan putusan yang baik. Bilamana salah satu pihak memiliki konektivitas atas dasar timbal balik atau persaudaraan, ada dugaan bahwa putusan parsial akan terjadi.

Ketika situasi demikian terjadi, suatu suasana yang tidak baik akan terjadi selama proses arbitrase. Selalu terdapat sak wasangka. Selama pemeriksaan, persidangan, hingga pembacaan putusan, prinsip kepercayaan sudah tidak berjalan dengan baik lagi. Pihak yang pengajuan hak ingkarnya ditolak berpotensi tidak akan menjalani proses persidangan dengan baik karena ada sikap apriori terhadap arbiter yang diingkari. Pada ujungnya, mekanisme yang digunakan biasanya adalah pembatalan dengan dalih telah terjadi tipu muslihat. Konektivitas dikaitkan dengan adanya kerjasama antar pihak dan arbiter dalam bentuk tipu muslihat.

Penulis melihat bahwa kredibilitas dan integritas arbiter menjadi salah satu faktor penentu dari penggunaan hak ingkar. Salah satu cara untuk menjaganya adalah bagaimana seorang arbiter dapat berani menolak suatu perkara bilamana isu kepercayaan akan berpotensi besar muncul. Hak ingkar memang bukan terkait pembuktian suatu tindakan penyalahgunaan yang telah terjadi, tetapi adanya dugaan yang berpotensi kuat dapat menyebabkan bias.

Apabila dibiarkan isu ini muncul selama proses persidangan, justru tidak akan mencapai nuansa arbitrase yang ideal. Ada baiknya, arbiter tidak perlu mengiyakan kasus seperti demikian sedari awal. Para pihak juga tidak boleh memilih arbiter-arbiter yang dapat membuat pihak lain khawatir kualitas putusan yang tidak objektif dan parsial. Ataupun bilamana diingkari, tidak perlu dilanjutkan menjadi arbiter dalam perkara tersebut.

*)Anangga W. Roosdiono adalah Ketua BANI Arbitration Centre serta seorang Advokat di Jakarta. Muhamad Dzadit Taqwa adalah Dosen Hukum dalam Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait